Senin, 26 Oktober 2009

0
Sisingamangaraja XII bukan beragama islam, keristen atau Parmalim

gbrsks 

Menyingkap "Tabir Misteri" Sisingamangaraja XII
KabarIndonesia - Profesor Uli Kozok mengatakan, Sisingamangaraja XII memiliki tiga jenis stempel berbeda yang diketahui dari cap yang dibubuhkan pada surat-suratnya yang ditujukan kepada pemerintah Belanda maupun zending Kristen I.L. Nomensen.
Menurut Profesor dari University of Hawaii, Minoa, USA itu; stempel yang digunakan itu sama-sama berasal dari abad XIX dengan rentang waktu 10 sampai 20 tahun antara satu stempel dengan stempel lainnya.
"Ini sekaligus membuktikan bahwa Sisingamangaraja XII telah melakukan tiga kali percobaan dalam pembuatan stempel untuk berhubungan dengan pihak lain. Stempel yang ketiga bentuknya lebih baik dan sempurna dari dua stempel sebelumnya," katanya dalam ceramah ilmiah di Universitas Negeri Medan mengupas tentang misteri surat-surat Sisingamangaraja XII.
Dikatakan lebih jauh, ada empat surat Sisingamangaraja XII yang saat ini sedang ditelitinya. Tiga surat ditujukan kepada zending Kristen I.L. Nomensen dan satu surat ditujukan kepada pemerintah Hindia Belanda.
I.L. Nomensen sendiri sebenarnya sangat tidak suka terhadap Sisingamangaraja XII karena sangat menentang kehadirannya di Tanah Batak. Bahkan, I.L. Nomensen pernah mengatakan bahwa musuh abadi pemerintah Belanda dan zending Kristen adalah Sisingamngaraja XII. Nomensen pula yang memanggil tentara Belanda agar masuk ketanah Batak dengan menggunakan pasukan yang terdiri dari orang-orang Jawa, Manado dan Maluku.
"Saat ini keempat surat-surat asli Sisingamangaraja XII tersebut masih tersimpan dengan cukup baik di Wuppertal Jerman," katanya. Namun uniknya, kata dia, stempel dan surat-surat Sisingamangaraja XII tersebut bukan menggunakan aksara Batak asli. Melainkan sudah menggunakan campuran aksara Batak Mandailing Angkola, Arab Melayu dan huruf Kawi.
Lebih lanjut ia mengatakan, Sisingamangaraja XII sendiri sebenarnya tidak mengenal huruf. Untuk itulah ia mempekerjakan dua juru tulis dalam persoalan surat-menyurat yakni Heman Silaban dan Manse Simorangkir.
Kedua juru tulisnya tersebut merupakan alumni zending I.L. Nomensen yang kemudian berbelok arah memihak Sisingamangaraja karena tidak lulus dalam ujian untuk menjadi guru.
Sementara sejarawan Universitas Negeri Medan (Unimed) DR Phill Ichwan Azhari, mengatakan; sedikitnya ada lima misteri yang masih perlu diteliti lebih jauh tentang Sisingamangraja XII. Yakni tentang hidupnya, surat-suratnya maupun agamanya.
Bahkan tentang kematiannya juga masih menjadi misteri. Kalau benar Sisingamangaraja XII ditembak mati oleh serdadu Belanda yang bernama Christopel, kenapa dia tidak naik pangkat seperti layaknya pasukan-pasukan Belanda lainnya yang berhasil mematahkan perlawanan-perlawanan para pahlawan lain dari daerah lain.
"Begitu juga dengan surat-suratnya yang sudah berusia lebih dari 100 tahun. Tetapi kita tidak mengetahui apa sebenarnya isinya, " katanya.
Beragama Batak Asli
Profesor Uli Kozok menambahkan, Raja Sisingamangaraja XII bukan beragama Islam, Kristen maupun Parmalin. Melainkan beragama Batak asli.
"Selama ini banyak kontroversi yang terjadi di tengah masyarakat tentang agama yang dianut Sisingamangaraja XII. Ada yang mengatakan dia beragama Kristen, Islam. Bahkan tidak sedikit yang menyebut beragama Parmalin yang menurut sebagian orang merupakan agama aslinya orang Batak," katanya.
Ahli sejarah berkebangsaan Jerman itu, menyebutkan, Parmalin bukanlah agama asli orang Batak. Parmalin merupakan agama kombinasi atau perpaduan dari agama Islam dan Kristen.
Ketika agama Parmalin berkembang di Tanah Batak, Sisingamangaraja XII sendiri sudah berada di Dairi dalam pengungsian menghindari serbuan-serbuan dari tentara Belanda. "Jadi agama Sisingamangaraja XII adalah Batak asli yang usianya jauh lebih tua dari agama Parmalin," katanya.
Mengenai bukti-bukti otentik yang ditunjukkan dalam stempel Sisingamangaraja XII yang menggunakan aksara campuran Batak Mandailing Angkola, Arab Melayu dan Kawi juga tidak membuktikan bahwa ia telah memeluk agama Islam.
Sebagai seorang yang mengklaim dirinya penguasa di Tanah Batak, sudah selayaknya Sisingamangaraja XII memiliki sebuah stempel sebagai lambang kebesarannya dan wajar saja jika dia menggunakan aksara Arab Melayu dalam stempelnya kerena saat itu Bahasa Melayu sudah menjadi bahasa pengantar di Sumatera.

0
TITIK TEMU KULTUR ISLAM DENGAN UGAMO PARMALIM

Ugamo Parmalim menjadi kepercayaan asli etnis Batak, hingga kini masih eksis. Bahkan, di Kecamatan Barus sendiri, seperti penuturan Zuardi Mustafa Simanulang ada desa bernama Kampung Mudik sebagian warganya masih menganut kepercayaan asli itu. Bahkan, penganut Parmalim di sana punya rumah ibadah disebut Parsaktian.
Kepercayaan asli etnis Batak itu, menurut Ustadz Djamaluddin sangat dekat hubungannya dengan tradisi dan simbol-simbol agama Samawi, khususnya Islam.

Waspada Online

Ugamo Parmalim menjadi kepercayaan asli etnis Batak, hingga kini masih eksis. Bahkan, di Kecamatan Barus sendiri, seperti penuturan Zuardi Mustafa Simanulang ada desa bernama Kampung Mudik sebagian warganya masih menganut kepercayaan asli itu. Bahkan, penganut Parmalim di sana punya rumah ibadah disebut Parsaktian.
Kepercayaan asli etnis Batak itu, menurut Ustadz Djamaluddin sangat dekat hubungannya dengan tradisi dan simbol-simbol agama Samawi, khususnya Islam.

Menurut dia, Parmalim itu bisa jadi merupakan ajaran usianya sudah ribuan tahun, jauh sebelum Islam dan Kristen masuk dan mempengaruhi keyakinan etnis Batak. Dikatakan, saat ini penganut kepercayaan Parmalim memiliki 360 orang dukun yang berfungsi sebagai pembawa upacara keagamaan.
Dari 360 dukun itu, separuh di antaranya (180 orang) menggunakan bacaan pembuka dan penutup mantra (tabas) dengan ucapan mirip bacaan Islam dan Yahudi (Hebrew).

Pembukaan mantra itu kira-kira; "Binsumillah dirakoman dirakomin" dan penutupnya "Yasa Yasu Yausa" Sedangkan separuh di antaranya menggunakan pembuka dan penutup tabas dengan bahasa mirip ucapan Islam. Untuk pembukaan: "Bismillahirrahmanirrahiem" dan penutupnya; "Borkat Kobul Lailaha Illallah" atau "Borkat Kobul Baginda Saidina Ali."

Berdasarkan fakta itu, Ustadz Djamaluddin Batubara berkeyakinan, ada hubungan antara Parmalim dengan agama-agama Samawi. Menurut dia, Al Qur'an ada menyebutkan kepercayaan monotheisme Ibrahim dikenal dengan "millah (ta) Ibrahim."  
Lalu, jika dihubungkan cerita tentang penemuan mummy Mesir yang dibalsem dengan rempah-rempah pengawet di antaranya kanfer (kapur barus) serta kisah tentang Raja (Nabi) Sulaiman membutuhkan rempah-rempah dari Ophir (Barus), diperkirakan kala itulah keyakinan monotheisme terserap dan kemudian mengakar dalam keyakinan etnis Batak.

Selain itu, dalam sejarah asal Keturunan Raja Barus, disebutkan pula raja I etnis Batak bernama Raja Makoeta atau Raja Manghuttal bergelar Sisingamangaraja I sekira tahun 1550 M sudah memeluk agama Islam dan mengembangkannya hingga ke Aceh dan Minangkabau.
Sisingamangaraja I sendiri merupakan kemenakan Raja Uti, penguasa Barus. Raja Makoeta merupakan panglima Raja Uti ketika melawan Portugis yang hendak menguasai Barus.

Dalam sejarahnya kemudian Sisingamangaraja I itu mendirikan kerajaan baru berpusat di Bakkara. Kata 'Bakkara' sendiri diambil dari salah satu surah di Al Qur'an, yakni Surah Al Baqarah (Lembu Betina).
Hal itu dikarenakan daerah jadi pusat kerajaan Sisingamangaraja I merupakan dataran banyak lembunya. Diceritakan pula, antara Barus dan Bakkara terjadi hubungan persahabatan yang erat. Itu ditandai dengan dibuatnya jalan menghubungkan kedua kerajaan itu.

Sisingamangaraja I dalam memerintah rakyatnya, berpedoman pada sejumlah pegangan spiritual bernuansa monotheistis. Misalnya, menyucikan diri, tidak memakan darah dan daging yang tidak disembelih (mate garam).
Tidak menenggak minuman yang memabukkan. Mendirikan rumah ibadah tempat berdoa kepada Tuhan YME. Menghapuskan perbudakan, mencintai kebersihan, kesehatan dan menganjurkan penduduk membuat sumber air (sumur) untuk kelompok warga. Mengutamakan musyawarah (syura) dalam kehidupan bermasyarakat.

Selain itu, umum sudah diketahui penanggalan Raja Batak sejak awal telah menggunakan penanggalan Islam, yakni Hijriah. Itu terlihat dari cap kerajaan para penguasa Batak, misalnya cap Sisingamangaraja XII bertuliskan Arab/Melayu dengan penanggalan tahun 1304 Hijratun Nabi.
Demikian pula dengan simbol dan pakaian kebesaran kerajaan Batak, cenderung mendekati simbol-simbol ke-Islaman. Misalnya, tongkat, pedang, sorban berwarna putih serta stempel kerajaan.

Berbagai peraturan dibuat Sisingamangaraja I menjadi pedoman kehidupan bagi etnis Batak di kemudian hari juga bernuansa monotheistis. Sayangnya, pedoman itu kemudian tidak berlanjut, karena ketiadaan penganjur Islam (pendakwah) dekat dengan kerajaan Batak sepeninggal Raja Uti. Islam Tauhid (monotheis) itulah di kemudian hari dikenal sebagai kepercayaan Parmalim, tutur Ustadz Djamaluddin Batubara.

Perebutan Eksistensi

Sayangnya kepercayaan asli etnis Batak itu, belakangan kian menyusut dan kehilangan eksistensinya. Pasca menyebarnya Protestantisme dibawa Dr. I.L Nomensen ke Tano Batak, Parmalim menghadapi tekanan keras. Watak ekspansionisme Protestan, ternyata tidak memberikan peluang kepada kepercayaan asli itu untuk tetap hidup dalam keberagaman keyakinan. Akibatnya, Parmalim menjadi keyakinan yang terasing di tanah kelahirannya sendiri.

Ada beberapa alasan kenapa Parmalim harus menghadapi tekanan keras yang membuat kepercayaan asli itu kian meredup. Pertama, keyakinan monotheisme Parmalim sangat bertolak belakang dengan keyakinan mayoritas etnis Batak beragama Kristen Protestan/Katholik meyakini konsep Trinitas.
Kedua, sinkretisme simbol-simbol Parmalim-Islam mengganggu missi untuk menjadikan Tano Batak sebagai wilayah Judea di Andalas. Artinya, klaim bahwa etnis Batak sama dengan orang Kristen masih bisa dianulir.

Berbeda dengan orang Minang, Aceh dan Melayu yang bisa mengklaim dirinya sama dengan orang Islam.
Ketiga, kebijakan pemerintah dan agama-agama dominatif mengabaikan, bahkan berniat melenyapkan eksistensi berbagai aliran kepercayaan yang ada, menyebabkan Parmalim dan kepercayaan lainnya terpinggirkan.

Sebagai sebuah warisan spiritual masa lalu di negeri ini, Ugamo Parmalim seharusnya tidak bisa dipandang sama dengan aliran-aliran kepercayaan yang ada belakangan sebagai sempalan agama-agama dominatif (Islam, Kristen, Budha, Hindu dan Kong Hu Chu).
Hal itu dikarenakan Parmalim memang dilahirkan dari rahim keyakinan masa lalu nenek moyang bangsa, keberadaannya jauh lebih terdahulu dibanding agama-agama resmi yang ada.
Akan bijaksana jika political will pemerintah, khususnya Pemprov Sumatera Utara memberikan perlindungan atas keberadaan Ugamo Parmalim itu.

Seminar tentang Perjuangan Sisingamangaraja XII yang berlangsung Akhir Mei 2007 lalu di Medan, setidaknya bisa menjadi langkah awal yang baik untuk memberikan ruang lebih terbuka kepada Parmalim menunjukkan eksistensinya di tengah pergaulan antar agama.
Sebaliknya, kasus penolakan masyarakat sekitar terhadap pendirian Parsaktian di Jalan Air Bersih, Medan , beberapa waktu lalu, patut dipandang sebagai upaya tidak memberikan ruang toleransi kepada kepercayaan asli etnis Batak itu.
Semestinya toleransi beragama diberikan kepada semua keyakinan, agar tidak muncul prasangka toleransi beragama cuma lip servis  digunakan untuk kepentingan sempit agamaagama tertentu.
*Abdul Khalik

Senin, 12 Oktober 2009

0
REKONSTRUKSI SEJARAH INDONESIA- ZAMAN HINDU- 2

Setelah sekian lama kita tidak membahas tentang Rekonstruksi Awal sejarah  Indonesia pada zama Hindu, mudah-mudahan seterusnya dapat kita lanjutkan tanpa halangan, Semoga Bermanfaat bagi kita pemerhati sejarah

Kebanyakan Penyelidik mengabaikan keterangan-keterangan Geografis dan kemungkinan ekonomis. Mereka melupakan sifat typis bangsa timur yaitu sifat gemar membawa-bawa nama-nama negeri asalnya dan sifat gemar menulis kan peristiwa-peristiwa dengan lambang-lambang dan kias-kias.Mereka juga melupakan kenyataan, bahwadalam sejarah sering terjadi perpindahan-perpindahan pusat-pusat kerajaan dan penggantian nama negeri.
Nama-nama asing yang disangka dan dianggap "Jawa" itu antara lainialah:
1- "Yavadvipa" dalam kakawin Ramayana, yang ditulis sebelum tahun 500 sebelum masehi.
2- "Ye-tiao" dalam tarikh Tiongkok pada tahun 132 sesudah masehi .
3- "lbadiou" dalam berita Mesir -Junani dari tahun 160 sesudah masehi.
4- "Ye-p'o-ti" dari Fa-Hien, yang pada tahun 414 terdampar dipantai negeri itu.
5- "Cho-p'o" dari Gunawarman dan dalam berita Tiongkok sekitar pertengahan abad ke 5.
6- "Bhumi Java" dalam inskripsi kota kapur (Bangka) tahun 686.
7- "Yava" dalam inskripsi Canggal(Sanjaya) tahun 732.
8- "Yavabhumi" dalam maklumat Nalanda tahun 883.
9- "Zabag", "Zabaj" dan "Jawaga" dalam berita Arab sesudah abad ke 9.

ad1- Yavadvida:

Valmiki pengarang Ramayana ,menulis tentang sebuah nama negeri yang bernama Yavadvida dalam bukunya   bukan lah Jawa yang dimaksudnya dengan alasan Ramayana berkisah tentang peristiwa tahun 500 S.M (sebelum Masehi), apakah orang India sudah mengetahui p.Jawa yang berada beberapa derajat diselatan Khatulistiwa?, dan alasan kedua kalau kita mengamati pemaparan Valmiki tentang Yavadvida, bahwa Yavadvida  dihiasi tujuh kerajaan ,pulau emas dan perak. kaya akan tambang Emas dan disitu terdapat gunung   Çiçira (=dingin) puncaknya  menyentuh langit.

Anggapan bahwa  bagian Ramayana yang memuat bab “Yavadvida” ditulis atau disisipkan  kemudian , yaitu sekitar tahun 150  adalah alasan yang dicari-cari , itu hanya terjadi karena  dalam tarikh Tiongkok tahun 132 sudah disebutkan tentang “Raja Yavadvida yang mengirim utusannya kepada kaisar Tiongkok.Jadi tentang bab Yavadvida tidak mungkin ditulis atau disisipkan kemudian, sebab kalau kita mengamati “Kawruh Kejawen” yang inti sarinya diambil dari ajaran Hindu Budha  yaitu tentang ajaran “Manunggaling Kawula Ian Gusti”, atman dan Brahman , puruça dan prakreti. Itu semua adalah bagian pokok dari isi Ramayana. Bagian itu (Bab Yavadvida) adalah bagian “Rama Duta” yang mengajarkan bahwa Rama (sebagai manusia) belumlah Ikhlas (legawa= sempuna) sebab bathinnya  (Shinta= isinya) masih terbelenggu keduniawian (ingin kidang kencana), oleh karena itu tertawan angkara murka (Dasamuka) dan untuk membasmi itulah, maka angkara-maya (Hanoman = mayangkara = angkara yang sudah tipis) ditugaskan sebab hanya dialah (mayangkara) yang dapat membasmi angkaramurka (Dasamuka).

Ramayana selain sebagai kitab pelajaran  agama, juga sebagai kisah pahlawan yang berdasarkan peristiwa historis , yang terjadi didaerah sungai Gangga (Benggala), yaitu penyerbuan bangsa Arya (pendukung kebudayaan dan peradaban dunia terhadap bangsa Dravida  yang dipandang sebagai kemenangan  “Hrrenvolk” terhadap “Schlavenvolk”

JAdi yang dimaksud denga Yavadvida iru adalah Daerah Sungai Gangga yang sampai sekarang itu masih merupakan  negeri Jelai yang luar biasa, sedangkan “Suvarnadvipa” ialah daerah sungai Iravadi yang hulunya menghasilkan emas dan bagian hilirnya menghasilkan perak dulunya merupakan kloni pertambangan-pertambangan Tiongkok (yang dilukiskan Valmiki sebagai gunung Çiçira tidak lain adalah gunung Himalaya. dengan puncaknya Mount Everest atau Gauri Sankar yang tingginya  kurang lebih 8800 meter.

Kesimpulannya  dari sudut pandang “Ramayana” bahwa Yavadivida  itu adalh nama klasik bagi India  dan “ Suvarnadvipa adalah Birma , kesimpulan ini sesuai dengan pendapat “MAha Yazawin (babad Birma) yang menamakan India “Zacudipa” atau “Zambudipa” sedangkan negerinya sendiri disebut “Sona PAranta atau Sona Aparanta” (Bahasa Pali yang artinya sama)

ad2. Ye-tiao

Nama ini berasal dari tarikh Tiongkok,yang menggambarkan bahwa pada tahun 132 Raja Ye-tiao bernama Tiao-pien mengirim utusan ke tiongkok  dan Raja itu menerima hadiah kehormatan.

Bersambung ----- 3)

Selasa, 19 Mei 2009

2
PUSUK BUHIT, GUNUNG LELUHUR BATAK

Konon Siboru Deak Parujar turun dari langit. Dia terpaksa meninggalkan kahyangan karena tidak suka dijodohkan dengan Siraja Odap-odap. Padahal mereka berdua sama-sama keturunan dewa. Dengan alat tenun dan benangnya, Siboru Deak Parujar yakin menemukan suatu tempat persembunyian di benua bawah. Alhasil, dia tetap terpaksa minta bantuan melalui burung-suruhan Sileang-leang Mandi agar Dewata Mulajadi Nabolon berkenan mengirimkan sekepul tanah untuk ditekuk dan dijadikan tempatnya berpijak. Namun sampai beberapa kali kepul tanah itu ditekuk-tekuk, tempat pijakan itu selalu diganggu oleh Naga Padoha Niaji. Raksasa ini sama jelek dan tertariknya dengan Siraja Odap-odap melihat kecantikan Siboru Deak Parujar. Akhirnya Siboru Deak Parujar mengambil siasat dengan makan sirih. Warna sirih Siboru Deak Parujar kemudian semakin menawan Naga Padoha Niaji. Dia mau tangannya diikat asal yang membuat merah bibir itu dapat dibagi kepadanya. Namun setelah kedua tangan berkenan diikat dengan tali pandan, Siboru Deak Parujar tidak memberikan sirih itu sama sekali dan membiarkan Naga Padoha Niaji meronta-ronta sampai lelah.

Bumi yang diciptakan oleh Siboru Deak Parujar terkadang harus diguncang gempa. Gempa itulah hasil perilaku Naga Padoha Niaji. Namun ketika guncangan itu mereda Siboru Deak Parujar mulai merasa kesepian dan mencari teman untuk bercengkerama. Tanpa diduga dan mengejutkan, diapun bertemu dengan Siraja Odap-Odap dan sepakat menjadi suami-istri yang melahirkan pasangan manusia pertama di bumi dengan nama Raja Ihat dan Itam Manisia. Pasangan manusia pertama inilah yang menurunkan Siraja Batak sebagai generasi keenam dan menjadi leluhur genealogis orang Batak.

Umumnya orang Batak percaya kalau Siraja Batak diturunkan langsung di Pusuk Buhit, sebuah bekas gunung vulkanis dekat Pangururan (ibukota Kabupaten Samosir).
clip_image001Pusuk Buhit Difoto dari TELE 13 Mei 2008

Siraja Batak kemudian membangun perkampungan di salah satu lembah gunung tersebut dengan nama Sianjur Mula-mula Sianjur Mula Tompa yang masih dapat dikunjungi sampai saat ini sebagai model perkampungan pertama. Letak perkampungan itu berada di garis lingkar Pusuk Buhit,. di lembah Sagala dan Limbong Mulana. Ada dua arah jalan daratan menuju Pusuk Buhit. Satu dari arah Tomok (bagian Timur) dan satu lagi dari dataran tinggi Tele.
clip_image002
Perkampungan Siraja Batak
Difoto tanggal TELE 13 Mei 2008

Di depan pemukiman ini, berkisar 100m ada sebuah tempat suci yang diyakini sebagian orang Batak sebagai tempat harta kekayaan dari Guru Tatea Bulan yang bernama Batu Hobon.
clip_image003Batu Hobon Difoto tanggal 13 Mei 2008

Sebelum menaiki puncak Pusuk Buhit Anda perlu berkeliling lingkar jalan tersebut sambil menikmati pemandangan ke kawasan hijau lembah, bukit, dan arah Danau Toba. Celah di bagian lingkar Timur Pusuk Buhit juga ada air hangat yang mengandung belerang jika angin pegunungan Bukit Barisan ternyata membuat badan semakin dingin menjelang malam.

clip_image004

Tempat Pemandian Air Panas Si Naibaho Difoto tanggal 13 Mei 2008
Setelah itu Anda dapat meneruskan rencana mencapai puncak Pusuk Buhit lewat jalan dan petunjuk dari perkampungan itu. Ketinggian Pusuk Buhit mencapai 1077 meter dari permukaan danau. Semoga dari puncak Pusuk Buhit Anda merasa akan dapat mencapai langit waktu bintang-bintang berkedipan di angkasa sebelum matahari terbit.

Sumber dari : simarmata.wordpress.com

Selasa, 14 April 2009

0
SEJARAH PEMBANGUNAN TUGU RAJA TOGA LAUT PARDEDE


SEJARAH PEMBANGUNAN TUGU RAJA TOGA LAUT PARDEDE
(Th.Pardede)


Lumban Jabi-jabi adalah sebuah perkampungan yang dihuni/ditempati oleh keturunan Raja Sonakmalela terbungsu,bungsu dari Raja Sonakmalela dan bungsu dari Raja Bona ni onan Pardede, dan bungsu dari Raja Paindoan yaitu Raja Toga Laut Pardede dengan keturunannya. Dan sejak dahulu Lumban Jabi-jabi adalah tempat pertemuan Raja-raja batak setiap hari Jumat (hingga sekarang hari pekan/ pasar di Balige Raja adalah hari Jumat . (DR. L.Manik)
Lumban Jabi-jabi berlokasi dipusat kota Balige, dan di Lumban ini ada sebuah sumber mata air yang sangat jernih (mual Jabi-jabi), menurut ceritanya, semua raja-raja batak dahulu termasuk Sisinga mangaraja ke XI pernah maranggir dimual ini.
Perpindahan keturunan Raja Toga Laut dari Lumban jabi-jabi, ke Hauma bange, sangat berkaitan dengan perlawanan opung Guru somalaing Pardede dengan saudara-saudaranya terhadap Belanda dan juga oleh karena Lumban Jabi-jabi smenjadi pusat kegiatan pejuang-pejuang Batak yang dipelopori Guru Somalaing Pardede, dan Lumban Jabi-jabi juga disebut “Balobung” karena pejuang-pejuang penentang Belanda yang menjadi buron selalu mencari perlindungan ke Lumban Jabi-jabi.
Oleh karenanya segala cara diupayakan oleh Belanda untuk mematahkan perjuangan beliau yang sangat gigih, karena Opung Guru Somalaing mengadakan perlawanan terhadap belanda bukan saja dengan fisik tetapi juga dengan kekuatan spiritual (menggalang keyakinan asli orang-orang Batak melalui Parmalim), Kekuatan Spritual inilah membuat Belanda kewalahan, maka sangat perlu bagi Belanda segera melumpuhkan kekuatan Guru Somalaing Pardede dahulu, Guru Somalaing tidak surut mengadakan perlawanan meskipun Lumban Jabi-jabi telah dikuasai Belanda , beliau terus melanjutkan perlawan hingga ke Parsoburan, pada tahun 1896 terjadi pertempuran disana selama sebelas hari . Belanda bertekad menangkap Guru Somalaing Pardede hidup-hidup yang kemudian akhirnya tertangkap dan pada tanggal 15 maret 1896 yang kemudian Beliau diasingkan ke pulau Jawa melalui pelabuhan Sibolga (DR.L.Manik)
Setelah tertangkapnya Guru Somalaing Pardede maka akhirnya keturunan Raja Toga Laut mencari perlindungan atau pengungsian termasuk ke Lumban Haumabange, yang akhirnya Belanda mensyahkan sebagai perkampungan dari keturunan Raja toga Laut yang kebetulan lumban tersebut masih bagian wilayah dari Paindoan. ( Dokumen Belanda).
Dilumban ini juga dimakam kan Raja Toga laut dan anak-anaknya dan omp. Panaluksuk dan lainnya. Setelah Belanda menguasai Lumban Jabi-jabi, maka lokasi pemakaman tersebut tidak terawat lagi menjadi semak penuh dengan tanaman sipaet-paet.
Pada tahun 1953 dibangunlah Tugu Raja Toga Laut dimana dulunya Opung Raja Toga Laut dimakamkan.
Pada Tahun 1956 Beberapa Orang Tua dari Pardede bermufakat dan sepakat untuk merenovasi Tugu Raja Toga Laut Pardede.dengan biaya ± Rp. 1.570.000,-
Kembali keturunan Raja Toga laut mendapat cobaan sehubungan status tanah Lumban jabi-jabi Pemda Taput pada saat itu dipimpin Bupati SM. Simanjuntak, seorang putra Batak, mengclaim tanah Lumban jabi-jabi adalah milik pemerintah dengan alasan pengalihan kekuasaan dari Belanda tanpa mempertimbangkan sejarah, kenapa Belanda Menguasai Lumban tersebut, juga SM. Simanjuntak sebagai putra Batak tidak meng-hormati hukum adat dan Budaya Batak, pembongkaran Tugu sangat tidak diperbolehkan aleh hukum adaat Batak, dan penghinaan terhadap keturunannya.
Pada Tanggal 5 Januari 1962 sekitar pukul 8.00 pagi dilaksanakan pembongkaran, semula hanya dengan pecok, martil dan linggis tetapi upaya tersebut tidak berhasil maka dipergunakan alat peledak (dinamit), pembongkaran tugu terbut berlangsung selama 8 (delapan) hari. Meskipun hasilnya tidak seperti diharapkan Bupati, pembangunan Lapangan Tennis terus dilakukan sedangkan puing-puing dibiarkan menumpuk disekitarnya.
Perlu diketahui niat Pemerintah untuk pembongkaran Tugu tersebut, mendapat perlawanan dari semua keturunan Raja Toga Laut dengan berbagai bentuk perlawanan, hal ini dilakukan mereka sesuai dengan pertimbangan situasi pada saat itu (Pemberontakan PPRI), dan pada saat itu daerah Taput dikuasai Pasukan Siliwangi dan pasukan Bukit Barisan, situasi saat itu sangat rawan.mengadakan perlawanan berarti pemberontak, menolak kebijakan pemerintak
Karena hal tersebut diatas belum pernah terjadi ditanah Batak, dan keturunan Raja Toga Laut tidak berdaya melakukan perlawanan terhadap pemerintah yang diatas namakan oleh Bupat Taput SM.Simanjuntak, maka semua keturunan Raja Sonakmalela ikut prihatin melihat penekanan, penghinaan terhadap adik siapudan mereka oleh pemerintah (sejak pemerintahan Belanda samapai pemerintah Republik Indonesia), dengan kata lain “Lungun ni angina lungunni haha na doi, jala lungun ni haha na lungunni angina doi.”, yang artinya “ Kesusahan adiknya juga kesusahan abangnya, dan kesusahan abangnya juga kesusahan adiknya.” Dengan demkian pada
Pada tanggal 12 Januari 1962, atas nama Keturunan Raja Sonakmalela juga mengadakan tuntutan kepada pemerintah sebagai saport kepada anggi doli mereka keturunan Raja Toga Laut Pardede yang terus melakukan penuntutan hak.Mereka saling mendukung untuk mendapatkan hakmilik mereka, yang akhirnya berbuah hasil, dengan keluarnya surat dari Panglima Kodam II Bukit Barisan, Nomor: PP/K-007/62 tertanggal 24 Maret 1962 yang menyatakan “bersedia membangun kembali Tambak/Tugu Toga Laut Pardede.
Lobe tinggi Pardede terus mengadakan kontak dengan Panglima Kodam II Bukit Barisan yang kebetulan saat itu adalah Kolonel A.Manaf Lubis, karena beliau ragu kalau surat Panglima tersebut tidak direalisasikan segera, maka kemudian disusul dengan surat kedua dari Panglima Kodam II Bukit Barisan, Nomor Pedarmilda/sp-007/3/1963, bertanggal 27 Maret 1963 yang isinya menyatakan kesedian membangun Tambak/ Tugu Toga Laut Pardede, yang ditanda tangani oleh Kolonel A.Manaf Lubis Nrp:12186, Apa yang dikhawatirkan oleh Keturunan Raja Toga Laut Pardede menjadi kenyataan, pem-bangunan kembali Tambak/Tugu tidak juga terwujud dengan alas an pemerintah akibat situasi Politik dan Ekonomi yang tidak kondusif.
Pada tanggal 17 Agustus 1969 Pihak Kodam II Bukit Barisan datang menemui A.Pardede sebagai Ketua Panitia Pembangunan kembali Tugu Raja Toga Laut Pardede, untuk menyerahkan surat yang berhubungan dengan pembangunan Tugu Raja Toga Laut. Namun pada saat itu pada waktu yang sama A. Pardede meninggal dan disemayamkan dikediamannya Losmen Toga Laut Tawar Balige sedang dikelilingi sanak keluarga, melihat situasi berkabung tersebut maka utusan Kodam II mengurung niat mereka,
Pada Tanggal 10 April 1974 utusan keturunan Raja Toga Laut yaitu H.Pardede dan S.Pardede kembali menemui Panglima Kodam II Bukit Barisan di Medan, hasilnya dikeluarkan pihak Kodam II surat ber Nomor K229/1974 tanggal 11 April 1974 yang isinya menyetujui pengembalian /Pembangunan Tambak/Tugu Raja Toga Laut Pardede sebagaimana semula atau sesuai ditempat yang pantas .
Rencana itupun tidak juga dapat direalisasikan karena beberapa factor, terutama kondisi kedua tokoh yang di percayakan untuk mengurus, keduanya orang-orang sibuk, karena kesibukan mereka maka tahun 1980, H.Pardede dan S.Pardede mempercayakan pengurusan tersebut kepada Opung Podang Pardede yang kebetulan beliau dikenal dikalangan pemerintahan sebagai tokoh Spritual Batak, dengan imbalan satu kaleng eme dari setiap anggota keturunan Raja Toga Laut Pardede. Tugas itupun tidak dapat diwujudkan sampai beliau meninggal di Medan.
Pada tahun 2007 terbentuk panitia persiapan atau panitia pengantar Pembangunan Raja Toga Laut Pardede di Jakarta di kantor B.Pardede di Pisangan baru dengan susunan pengurus sbb :
Ketua : J.Pardede
Ketua I: B.Pardede
Ketua II: T.H.Pardede
Ketua III: R.Pardede
Seketaris I : S.Pardede
Seketaris II: A.M.Pardede
BendaharaI; T. Pardede
Bendahara II: Ny. A.Pardede
Penasehat I: T.Pardede
Penasehat II: E.Pardede
Penasehat III: O.Pardede
Kemudian sebagai tindak nyata maka Panitia dengan beberapa keturunan Raja Toga Laut Pardede berangkat ke Bonapasogit show force atau dengan kata lain membuat ikrar bersama dan tekad untuk membangun Tambak/ Tugu Raja Toga Laut lebih dahaulu tanpa mengandalkan bantuan dari Kodam atau Pemerintah, yang akhirnya Panitia akan berusaha mengadakan tuntutan atau melanjutkan tuntutan kembali kepada Pemerintah.
Mari kita berdoa agar Tuhan Selalu membantu cita-cita kita yang luhur ini, dan saya sebagai penyimpul sejarah Tugu Raja Toga Laut Pardede, yang berdasarkan cerita/ Sumber:
1. Haji Abdul Halim Pardede (alias Lobe Tinggi Pardede),
2. A,Pardede (amanToga Pardede),
3. Opung Sittua Rudolf Pardede,
4. Ito Ny. Tampubolon ,
5. Opung pai 5(Omp. SiBosar),
6. Bapa Uda I.Pardede (omp si Luhut), dan
7. Bapa uda T.Pardede
8. DR. L Manik.(berdasarkan penelitian beliau di Museum Leiden sehubungan dengan rencana beliau membuat Buku Sejarah Guru Somalaing Aji Pardede)
Terima kasih – Horas.

Sabtu, 11 April 2009

0
SIBAGOT NI POHAN

sebelum  sampai ke legenda Sibagot Ni Pohan alangkah baiknya ikuti legenda Siraja Batak sbb:


Raja Batak dan keturunannya
Tarombo si Raja Batak (silsilah garis keturunan suku bangsa Batak) dimulai dari seorang individu bernama Raja Batak.
Si Raja Batak berdiam di lereng Pusuk Buhit, Sianjur Mulamula, namanya. Sehingga wilayah/lereng Pusuk Buhit dapat dikatakan sebagai daerah asal-muasal suku bangsa Indonesia, Batak, yang kemudian menyebar ke berbagai pelosok, baik Indonesia maupun dunia.
Si Raja Batak mempunyai 2 (dua) orang putera, yaitu:
  1. Guru Tatea Bulan
  2. Raja Isumbaon
Guru Tatea Bulan mempunyai 5 (lima) orang putera, yaitu:
  1. Raja Biakbiak (Raja Uti)
  2. Saribu Raja
  3. Limbong Mulana
  4. Sagala Raja
  5. Silau Raja
Raja Biakbiak
Raja Biakbiak adalah putera sulung Guru Tatea Bulan.
Raja Biakbiak atau juga disebut dengan Raja Uti tidaklah mempunyai keturunan.
Saribu Raja
Saribu Raja adalah putera kedua Guru Tatea Bulan.
Saribu Raja mempunyai 2 (dua) orang putera yang dilahirkan oleh 2 (dua) isteri. Isteri pertama Saribu Raja adalah Siboru Pareme yang melahirkan Raja Lontung dan isteri kedua Saribu Raja adalah Nai Mangiring Laut yang melahirkan Raja Borbor.
Raja Lontung
Raja Lontung mempunyai 7 (tujuh) orang putera, yaitu:
  1. Sinaga, menurunkan marga Sinaga dan cabang-cabangnya
  2. Situmorang, menurunkan marga Situmorang dan cabang-cabangnya
  3. Pandiangan, menurunkan Perhutala dan Raja Sonang dan cabang-cabangnya
  4. Nainggolan, menurunkan marga Nainggolan dan cabang-cabangnya: Hutabalian, Lumbanraja, Lumbantungkup
  5. Simatupang, menurunkan marga Togatorop, Sianturi dan Siburian
  6. Aritonang, menurunkan marga Ompu Sunggu, Rajagukguk, dan Simaremare
  7. Siregar, menurunkan marga Siregar dan cabang-cabangnya
Raja Borbor
Keturunan Raja Borbor membentuk rumpun persatuan yang disebut dengan Borbor yang terdiri dari marga Pasaribu, Batubara, Harahap, Parapat, Matondang, Sipahutar, Tarihoran, Saruksuk, Lubis, Pulungan, Hutasuhut, Tanjung serta Daulay. Sementara, waktu Nai Mangiring masih hidup, dia dan adik-ipar (adik-adik Sariburaja), Limbongmulana, Sagala Raja dan Silau Raja membuat suatu ikatan perjanjian yang disebut "padan" yang menyatakan bahwa "pomparan" mereka semua, seterusnya disebut dengan "Borbor Marsada". Disini turunan dari Boru Pareme tidak turut serta.
Limbong Mulana
Keturunan Limbong Mulana sebagai putera ketiga Guru Tatea Bulan, hingga kini tetap memakai marga Limbong.
Sagala Raja
Keturunan Sagala Raja sebagai putera keempat Guru Tatea Bulan tetap memakai marga Sagala.
Silau Raja
Silau Raja sebagai putera bungsu Guru Tatea Bulan menurunkan marga Malau dan cabang-cabangnya.
Raja Isumbaon
Raja Isumbaon adalah putera kedua/bungsu Raja Batak. Raja Isumbaon mempunyai 3 (tiga) orang putera, yaitu:
  1. Tuan Sorimangaraja
  2. Raja Asiasi
  3. Sangkar Somalidang
Khusus keturunan Raja Asiasi dan Sangkar Somalidang hingga saat ini belum diketahui pasti siapa keturunan mereka. Ada yang berpendapat, Sangkar Somalidang sekaligus Sangkar Sobaoa. Pengertian "sangkar sobaoa" ialah sesungguhnya laki-laki namun sifat-pembawaannya perempuan, atau banci. Sedang Raja Asiasi dikatakan berkelana ("adventure") ke Aceh.
Tuan Sorimangaraja
Tuan Sorimangaraja mempunyai 3 (tiga) orang putera, yaitu:
  1. Ompu Tuan Nabolon, lahir dari isteri Sorimangaraja, Nai Ambaton (nama kecil, Boru Paromas/Boru Antingantingsabungan)
  2. Datu Pejel/ Tuan Sorbadijae, lahir dari isteri Sorimangaraja, Nai Rasaon (nama kecil, Boru Bidinglaut)
  3. Tuan Sorbadibanua, lahir dari isteri Sorimangaraja, Nai Suanon/Nai Tungkaon (nama kecil, Boru Parsanggul Haomasan)
Naiambaton, kurang pas, seharusnya atau aslinya adalah Nai Ambaton) dan Nairasaon seharusnya atau aslinya Nai Rasaon, tidak didahului kata "Raja". Karena yang dimaksud "raja" ialah pomparannya yang LAKI-LAKI. Kedua orang tersebut, Nai Ambaton dan Nai Rasaon adalah Ibu. Maka seharusnya ada pertukaran letak suku kata, bukan "pomparan raja naiambaton atau nairasan" tetapi seharusnya adalah "raja pomparan ni nai ambaton" atau raja pomparan ni nai rasaon" dan seterusnya. Kata "Nai" dalam bahasa Batak asli adalah panggilan-kehormatan, semacam "gelar". Karena kata Nai bagi seorang ibu dan kata "Amani" bagi seorang bapak menunjukkan bahwa pasangan suami-isteri yang bersangkutan sudah berhasil naik setingkat dalam status sosial bermasyarakat, dalam arti ibu dan bapak yang bersangkutan sehari-hari dipanggil dengan nama anak pertama, lepas dari laki atau perempuan. Namun kepada sang bapak, didepan nama anak-pertama tsb ditambahkan "Amani", semisal anak pertama tsb ialah si Bunga, maka si bapak dipanggil sehari-hari, "Amani Bunga". Sementara si ibu sehari-hari dipanggil "Nai Bunga", karena anak-pertama dari perkawinan mereka berdua diberi nama si Bunga. Semisal, sudah lahir anak pertama dan ternyata laki-laki, namun belum diberi nama, maka secara otomatis bernama "Ucok", sementara kalau yang lahir tersebut adalah perempuan, otomatis bernama "Butet". Sepanjang anak pertama lahir tersebut belum diberi nama, maka kedua orang, suami-isteri tersebut akan dipanggil Amani Ucuk/ Nai Ucok atau Amani/ Nai Butet. Di wilayah/daerah p. Samosir hal ini dianggap sangat elementer, namun sangat penting dalam etika berbicara, berkomunikasi dan pergaulan-bermasyarakat sehari-hari. Orang yang memanggil orang lain dengan panggilan "gelar", merasa menghormati orang yang bersangkutan dan orang yang dipanggil akan merasa dihormati. Kalau sepasang suami-isteri masih dalam penantian anak dari perkawinan, maka ada dua opsi. Pertama, diberi nama yang agak abstrak, misalnya Amani/ Nai Paima. Paima, secara harfiah= "menanti". Opsi kedua, mengambil-pinjam nama anak kedua atau ketiga atau keempat dari abang-kandung sang suami, yang belum dipergunakan oleh orang lain dalam kerluarga dekat. Bagi kita yang sudah hidup dikota, kita dipanggil dengan nama kecil kita, tidak masalah. Lain halnya dengan masyarakat kampung yang masih terikat dengan nilai dan tradisi lama secara turun-temurun. Masyarakat di kampung akan merasa plong, bebas, nyaman dan tidak terbebani, bila memanggil seseorang dengan gelar. Contoh di atas, Amani Bunga untuk sang bapak dan Nai Bunga untuk sang ibu.
Demikian halnya atas dua nama yang diberi koment di atas. Nai Ambaton ("panggoaran"), nama kecil ialah si Boru Anting-anting Sabungan/Boru Paromas (puteri Guru Tatea Bulan, "mar pariban"/"sisters" dengan si Boru Pareme). Si Boru Paromas adalah isteri pertama dari Tuan Sorimangaraja (anak dari Raja Isumbaon). Anak yg dilahirkan si Boru Paromas/Nai Ambaton, satu, bernama Ompu Tuan Nabolon; namun ada juga penulis yang menyebut namanya Ompu Sorbadijulu. Anak-anak O Tuan Nabolon inilah si Bolontua (Simbolon - seluruhnya), Tambatua - melahirkan banyak marga-marga, Saragitua - melahirkan banyak marga-marga, dan Muntetua - yang juga melahirkan banyak marga-marga. Estimasi terkini menjadi 70-an marga yang disebut dengan PARNA (Parsadaan Nai Ambaton) "na boloni".
Isteri kedua Tuan Sorimangaraja ialah si Boru Bidinglaut, yang kemudian "mar-panggoaran" Nai Rasaon. Melahirkan satu anak, bernama Datu Pejel; namun ada penulis menyebut namanya Ompu Tuan Sorbadijae. Anak-anaknya ada dua, yang lahir sekaligus dalam satu "lambutan" bernama Raja Mangarerak dan Raja Mangatur. Pomparan Raja Mangarerak ialah seluruhnya marga Manurung; sementara pomparan Raja Mangatur, ialah seluruhnya marga-marga Sitorus, Sirait dan Butarbutar. Panjang cerita/"turiturian" dibalik penyebutan 4 marga tersebut.
Isteri ketiga Tuan Sorimangaraja ialah Nai Suanon/ Nai Tungkaon, nama kecilnya ialah Boru Parsanggul Haomasan. Dalam tarombo pomparan Guru Tateabulan, diberbagai literatur nama ini tidak tertulis. Ibu ini melahirkan satu anak, bernama Tuan Sorbadibanua. Dari Tuan Sorbadibanua lahir 8 anak laki-laki, no 1 si Bagotnipohan, turunannya termasuk "Hula-hula anak manjae" SBY, keluarga Aulia Pohan. Satu lagi di antara 8 itu ada Silahi Sabungan, termasuk Letjend (Prn) TB Silalahi, anggota Watimpres SBY. Satu lagi di antara 8 itu ialah Raja Sobu, asal dari marga-marga Sitompul, si Raja Hasibuan kemudian (disamping masih tetap ada Hasibuan) menurunkan marga-marga Hutabarat(si Raja Nabarat), Panggabean (bercabang lagi dgn Simorangkir), Hutagalung, Huta Toruan (bercabang dua yaitu marga-marga Hutapea-Tarutung/Silindung & Lumbantobing). Catatan: ada juga Hutapea di Laguboti, tapi punya tarombo tersendiri.
Khusus tentang turunan Ompu Tuan Nabolon, menurut kebanyakan literatur adalah: No 1, si Bolontua (sampai sekarang masih satu) yg disebut Simbolon, no 2, Tambatua (1 Tonggor Dolok/Rumabolon, 2 Lumban Tongatonga, 3 Lumbantoruan), no 3, Saragitua, no 4, Muntetua. Mereka berempat, si Bolontua, Tambatua, Saragitua dan Muntetua dilahirkan oleh 2 Ibu: pertama, boru Pasaribu, kedua boru Malau (Silau Raja). Penyebutan nama anak-anaknya tsb oleh Ompu Tuan Nabolon pun, konon, tidak asal-asalan tapi harus bijaksana ("wise"), seperti cerita Raja Salomo yang bijak, karena dilahirkan oleh 2 orang isteri. Ada isteri pertama dan ada isteri kedua. Istilah kerennya, poligami. Sebagai perbandingan, ingatlah Abraham. Anak-anaknya antara Ismael dgn Ishak. Yg lahir duluan, Ismael, namun lahir dari pembantu, Hagar. Maka Ishak yang lahir dari sang "permaisuri", yaitu Sarah, itulah yg diberkati oleh Abraham dan Yahwe yang disembah oleh Abraham. Sekedar perbandingan saja lah.-->
Raja Nai Ambaton
Keturunan Raja Naiambaton dikenal sebagai keturunan yang terdiri dari berpuluh-puluh marga yang tidak boleh saling kawin (ndang boi masiolian). Kumpulan persatuan rumpun keturunan Raja Naiambaton disebut dengan PARNA (Parsadaan Raja Nai Ambaton). Catatan: huruf R dalam kata PARNA bukan representasi 'raja', tapi PAR=Parsadaan ("persatuan"), NA=Nai Ambaton.
Marga-marga keturunan Raja Naiambaton (Datu Sindar Mataniari) , antara lain: Raja Sitempang dan Bolon Tua. Dan cabang-cabangnya: Dari Istri Siboru Biding laut III Pomparan Raja Sitempang
  1. Raja Sitempang ( Sitanggang Bau, Sitanggang Lipan, Sitanggang Upar, Sitanggang Silo, Sigalingging, Sitanggang Gusar dari Sitanggang Bau, Sidauruk, Manihuruk dari Sitanggang Silo, Sigalingging Ke Dairi (Banuarea, Manik, Gaja, Tendang, Rampu, Kecupak, Kombi,Boang Manalu, Barasa, Turutan, Siambataon), Simanihuruk ke Tanah Karo (Ginting Manik)
Dari IStri SIboru Anting Anting Pomparan Raja Nabolon
  1. Simbolon Tua (Simbolon, Tinambunan, Tumanggor, Turutan, Pinayungan, Maharaja, Nahampun)
  2. Tamba Tua: Tonggor Dolok, Lumbang Tongatonga, Lumban Toruan. Lumban Tongatonga beranak dua: Rumaganjang dan Lumbanuruk. Rumaganjang beranak 3: Guru Sateabulan, Guru Sinanti dan Datu Parngongo. Datu Parngongo beranak 7, satu di antaranya bernama Guru Sojoloan (Guru Sotindion). Dari Guru Sojoloan/Guru Sotindion inilah Sidabutar, Sijabat, Siadari, Sidabalok yang biasa disebut "pomparan ni si opat ama".
  3. Munte Tua (Munte)
  4. Saragi Tua (Saing, Simalango, Simarmata, Nadeak, Sidabungke, Rumahorbo, Sitio, Napitu). Tiga marga dintaranya, yang konon turunan dari satu leluhur, yaitu RumahOrbo, NApitu dan SiTIO, akronim (RoNaTio ).
Nai Rasaon
Nai Rasaon adalah kelompok marga-marga dari suku bangsa Batak Toba yang berasal dari daerah Sibisa. Marga-marga keturunan Nai Rasaon, adalah: Manurung, Sitorus (menurunkan Pane, Dori, Boltok), Sirait, Butarbutar. MANURUNG menurunkan HUTAGURGUR HUTAGAOL dan SIMANORONI.
Si Raja Batak adalah S-1, Raja Isumbaon - setaraf dengan Guru Tatea Bulan adalah S-2, maka Tuan Sorimangaraja (anak Raja Isumbaon) adalah S-3. Dari Ibu, Nai Rasaon {nama kecil: si Boru Bidinglaut, Isteri II Tuan Sorimangaraja (S-3)/Anak no. 2 Ompu Raja Isumbaon (S-2)} beranak satu, yaitu Datu Pejel/Ompu Tuan Sorbadijae. (S=Sundut/generasi). Datu Pejel, dua anaknya sekali lahir (kembar-dua), namun tidak sebagaimana umumnya lahir kembar secara satu per satu, melainkan lahir kembar-dua didalam satu "lambutan". Yang dimaksud lambutan, barangkali adalah jaringan selaput yang membungkus bayi ketika didalam kandungan. Pada waktunya yang tepat dikemudian hari diberi nama: Raja Mangarerak dan Raja Mangatur si "Dua-sahali tubu". Pomparan Raja Toga Manurung berkembang dari Raja Mangarerak; Sementara pomparan Raja Toga Sitorus, Raja Toga Sirait dan Raja Toga Butarbutar berkembang dari Raja Mangatur. Meski empat marga ini sesungguhnya berasal dari satu Ompu, Datu Pejel, namun umumnya, berawal dari wilayah Porsea ke-empat marga ini sudah saling kawin-mawin. Maka prinsip satu keluarga besar "na so boi mar-si-oli-an" telah ditinggalkan. Proses ini diperkirakan sudah dimulai sejak 5 - 6 generasi sebelum generasi yang sekarang, atau kira-kira 200 tahun yl. Sedang diwilayah asal/asli Sibisa dan Ajibata perasaan bersaudara itu masih kental. Namun khususnya diwilayah Ajibata, antara Sirait dan Manurung, pada generasi yang sekarang, telah ada yang memulai kawin-mawin. Sementara antara Sirait terhadap Sitorus dan Butarbutar belum ada yang memulai. Tetapi didaerah perantauan, misalnya di p. Jawa telah ada yang merintis. aaa
Tuan Sorbadibanua
Tuan Sorbadibanua mempunyai 8 (delapan) putera, yaitu:
  1. Sibagotnipohan
  2. Sipaettua(Pangulu Ponggok, Partano Nai Borgin,Puraja Laguboti(Pangaribuan,Hutapea)
  3. Silahisabungan
  4. Raja Oloan
  5. Raja Hutalima
  6. Raja Sumba
  7. Raja Sobu
  8. Raja Naipospos
Sibagotnipohan Sibagotnipohan sebagai cikal-bakal marga Pohan mempunyai 4 (empat) putera, yaitu:
  1. Tuan Sihubil, sebagai cikal-bakal marga Tampubolon dan cabang-cabangnya
  2. Tuan Somanimbil, sebagai cikal-bakal marga Siahaan, Simanjuntak, dan Hutagaol
  3. Tuan Dibangarna, sebagai cikal-bakal marga Panjaitan, Silitonga, Siagian, Sianipar, dan cabang-cabangnya
  4. Sonak Malela, menurunkan marga Simangunsong, Marpaung, Napitupulu, dan Pardede
Sipaettua Marga-marga keturunan Sipaettua, antara lain: Hutahaean, Hutajulu, Aruan, Sibarani, Sibuea, Pangaribuan, dan Hutapea
Silahisabungan
Delapan Anak Keturunan Silahisabungan dari 2 istri yakni :
Istri Pertama, Pingganmatio Padangbatanghari, anaknya : 1.Loho Raja (Sihaloho) 2.Tungkir Raja (Situngkir) 3.Sondi Raja (Rumasondi) 4.Butar Raja (Sidabutar) 5.Debang Raja (Sidebang) 6.Bariba Raja (Sidabariba) 7.Batu Raja (Pintubatu)
Istri Kedua,Sinailing Nairasaon, anaknya : 8. Tambun Raja Alias Raja Itano Alias Raja Tambun (Tambun,Tambunan,Daulay)
Selain marga pokok di atas masih ada lagi marga marga cabang keturunan Silahisabungan, yakni : Sipangkar, Sembiring, Sipayung, Silalahi, Dolok Saribu, Sinurat, Nadadap, Naiborhu,Maha, Sigiro, Daulay.

Raja Oloan Raja Oloan mempunyai 6 (enam) orang putera, yaitu:
  1. Naibaho, yang merupakan cikal-bakal marga Naibaho dan cabang-cabangnya
  2. Sigodang Ulu, yang merupakan cikal-bakal marga Sihotang dan cabang-cabangnya
  3. Bakara, yang merupakan cikal-bakal marga Bakara
  4. Sinambela, yang merupakan cikal-bakal marga Sinambela
  5. Sihite, yang merupakan cikal-bakl marga Sihite
  6. Manullang, yang merupakan cikal-bakal marga Manullang
Raja Hutalima Raja Hutalima tidak mempunyai keturunan
Raja Sumba Raja Sumba mempunyai 2 (dua) orang putera, yaitu:
  1. Simamora, yang merupakan cikal-bakal marga Purba, Manalu, Simamora Debata Raja, dan Rambe
  2. Sihombing, yang merupakan cikal-akal marga Silaban, Sihombing Lumban Toruan, Nababan, dan Hutasoit
SILABAN(BORSAK JUNJUNGAN) 1.SILABAN (BORSAK JUNGJUNGAN) 2.OP. RATUS 3.AMA RATUS 4.OP.RAJADIOMAOMA 5.a. DATU BIRA (SITIO); b. DATU MANGAMBE/MANGAMBIT (SIPONJOT) c. DATU GULUAN
Raja Sobu Marga-marga keturunan Raja Sobu, antara lain: Sitompul dan si Raja Hasibuan. Dari si Raja Hasibuan berkembang lagi, yang tetap tinggal di Toba tetap Hasibuan, sedang "pomparan" Ompu Guru Mangaloksa yang merintis hidupnya ke wilayah Silindung, anak-anaknya berkembang menjadi si Raja Nabarat (Hutabarat), si Raja Panggabean (cabangnya,Simorangkir), si Raja Hutagalung dan si Raja Hutatoruan. Si Raja Hutatoruan dua anaknya, itulah Hutapea (Silindung/Tarutung, beda dari Hutapea - Toba/Laguboti), dan Lumbantobing (biasa disingkat L. Tobing=Lumbantobing). Marga-marga tsb (diluar marga Hasibuan), secara "specific" pomparan Guru Mangaloksa dinamai "Pomparan ni si Opat Pu(i)soran". Mana ejaan yang benar dalam bahasa Batak, antara Pusoran atau Pisoran, entahlah. Marga-marga tersebut di atas masih tetap alias belum bercabang hingga sekarang. Kecuali pencabangan untuk tujuan penyebutan internal, semisal Hutabarat. Ada Hutabarat Sosunggulon, Hutabarat Hapoltahan, Hutabarat Pohan. Dari tataran ini barulah dibagi lagi menjadi "mar-ompu-ompu". Sebagai catatan, khusus dari pomparan Guru Mangaloksa, setiap anggota marga-marga tersebut mengingat nomornya masing-masing, termasuk Boru. Semisal di Hutabarat, berkenalan seorang Hutabarat dengan seorang lain Hutabarat. Tidak lagi ditanya, Hutabarat Sosunggulon? atau Hapoltahan? atau Pohan? dst. Tetapi langsung ditanya, "nomor berapa"?, termasuk Boru. Sehingga masing-masing tahu "standing position", memanggil abang/adik, bapatua/bapauda, dst, termasuk "tutur" untuk Boru. Hal seperti ini perlu dicontoh karena dapat memotivasi orang lain mencari asal-usul ("identitas") "ha-batahonna", tentu setelah indentitas keyakinan dan kepercayaan masing-masing individu.

Raja Naipospos Raja Naipospos mempunyai 5 (lima) orang putera yang secara berurutan, yaitu:
  1. Donda Hopol, yang merupakan cikal-bakal marga Sibagariang
  2. Donda Ujung, yang merupakan cikal-bakal marga Hutauruk
  3. Ujung Tinumpak, yang merupakan cikal-bakal marga Simanungkalit
  4. Jamita Mangaraja, yang merupakan cikal-bakal marga Situmeang
  5. Marbun, yang merupakan cikal-bakal marga Marbun Lumban Batu, Marbun Banjar Nahor, Marbun Lumban Gaol
Padan atau janji antar marga
Dalam suku bangsa Batak, selain marga yang satu nenek moyang (satu marga) ditabukan untuk saling kawin, dikenal juga padan (janji atau ikrar) antar marga yang berbeda untuk tidak saling kawin. Marga-marga tersebut sebenarnya bukanlah satu nenek moyang lagi dalam rumpun persatuan atau pun paradaton, tetapi marga-marga tersebut telah diikat padan (janji atau ikrar) agar keturunan mereka tidak saling kawin oleh para nenek moyang pada zaman dahulu. Antar marga yang diikat padan itu disebut dongan padan.
Marga-marga yang mempunyai padan khusus untuk tidak saling kawin, anatara lain:
  1. Sihotang dengan Naipospos (Marbun)
  2. Naibaho dengan Sihombing Lumban Toruan
  3. Nainggolan dengan Siregar
  4. Tampubolon dengan Silalahi
  5. dan lain sebagainya
Sihotang dengan Naipospos (Marbun)
Seluruh keturunan Raja Naipospos diikat janji (padan) untuk tidak saling kawin dengan keturunan Raja Oloan yang bermarga Sihotang. Sehingga Sihotang disebut sebagai dongan padan. Memang pada awalnya pembentuk janji ini adalah Marbun. Namun ditarik suatu kesepakatan bersama bahwa keturunan Raja Naipospos bersaudara (na marhahamaranggi) dengan keturunan Sihotang. Hal ini dapat dilihat bersama bahwa hingga saat ini seluruh marga NAIPOSPOS SILIMA SAAMA (Sibagariang-Hutauruk-Simanungkalit-Situmeang-Marbun) tidak ada yang kawin dengan marga Sihotang. Pengalaman di lapangan bahwa memang ada-ada saja orang yang mempersoalkan padan ini. Mereka mengatakan bahwa hanya Marbun sajalah yang marpadan dengan Sihotang tanpa mengikutsertakan Sibagariang, Hutauruk, Simanungkalit, dan Situmeang. Perlu diketahui bersama bahwa telah ada ikrar (padan) para nenek moyang (ompu) bahwa padan ni hahana, padan ni angina; jala padan ni angina, padan ni hahana (ikrar kakanda juga ikrar adinda dan ikrar adinda juga ikrar kakanda). Benar Marbunlah pembentuk padan pertama terhadap Sihotang. Tetapi oleh karena Marbun sebagai anggi doli Sibagariang, Hutauruk, Simanungkalit, dan Situmeang, maka turut juga serta dalam padan dengan Sihotang. Contoh lain dapat pula dilihat bersama bahwa sesungguhnya Sibagariang tidaklah ada ikrar (padan) sama sekali untuk tidak saling kawin (masiolian) dengan Marbun. Tetapi oleh karena Hutauruk, Simanungkalit, dan Situmeang marpadan dengan Marbun untuk tidak saling kawin maka Sibagariang pun turut serta dengan sendirinya oleh karena ikrar (padan) para nenek moyang (ompu) yang telah disebutkan di atas. Sehingga suatu padan yang umum bahwa keturunan Raja Naipospos dari isteri I (Sibagariang, Hutauruk, Simanungkalit, dan Situmeang) tidak boleh saling kawin dengan keturunan Raja Naipospos dari isteri II (Marbun).
Demikian pula halnya seluruh marga-marga keturunan Raja Naipospos (Sibagariang, Hutauruk, Simanungkalit, Situmeang, Marbun Lumban Batu, Marbun Banjar Nahor, dan Marbun Lumban Gaol) tidak boleh saling kawin dengan keturunan Sihotang.

  Sibagot ni Pohan

“HODONG DO PAHU, HOLI-HOLI SAKKALIA.
“HODO AHU, HITA NA MARSADA INA.
Hata na uli jala na tigor do hata ni umpama i, opat do tutu Sibagot ni Pohan saina, tubu ni Inanta Soripada Nantuan Dihutarea, Anak ni Tuan Sorimangaraja II, ima:
  1. Sibagot ni Pohan
  2. Sipaettua
  3. Silahisabungan
  4. Siraja Oloan
Dungi tolu tubu ni Inanta Soripada Borubasopaet, ima:
  1. Sumba II
  2. Toga Sobu
  3. Toga Pospos
Di laon laon ni ari dung mate sarimatua Tuan Sorimangaraja gabe Sibagot ni Pohan do muse junjungan ni harajaon, sitiop tampuk ni adat dohot tampuk ni uhum di tano Baligeraja singkat ni amana i. Jolma na bisuk do Sibagot ni Pohan, pangoloi jala parasiroha, alani bisukna do umbahen buhar borngin pinompar ni Boru Basopaet sian tano Baligeraja, ndang dohot porang manang bada, angkal do di bahen ibana asa sampak mudar ni nasida na sahuta i; dang dope di lele, nunga laho maringkati” buhar nasida ditinggalhon hutanai; “mulang bodari”
Hasurungan ni Sibagot ni Pohan sian donganna “panganju” ibana di angka anggina na tolu i, tung dipatunduk jala di patorutoru do rohana laho manganju nasida.
Sitiop tampuk ni adat, patik dohot uhum di harajaon i, ibana do mamantikhon Baringin Bius Godang di tano Baligeraja; “Bius Patane Bale Onan Balige, hasahatan ni solu, hasampean ni hole”. Digoari do di tonggo-tonggo tano Balige i songon on:
Tano Balige tano Baligeraja, tano marpidan-pidan, tano marpolin-polin.
Tano na sinolupan. tano binalean, tinombang ni Ompunta Tuan Sorimangaraja, Raja Ulu ni Ubi.
Raja tiang ni tano, raja na so olo matua, raja na so olo mate.
Asa tano Baligeraja do rapot pamuraion, jala portangisan ni na ro!”

Songon i ma goar ni tano Baligeraja i ditorsahon Ompunta Sibagot ni Pohan i, tangis do angka na ro marsolu sian bariba ni aek molo diborong alogo laut dohot alogo lubis, tangis do angka na ro sian dolok Humbang molo tarborong dibahen udan, ala ingkon mardalan nasida sian rahis-rahis dohot dalan na landit jala na sompit songon paronan ni Huta Ginjang rupani. Rapot pamuraion na nidokna so sundat disampak aek na mardalan solu; so sundat mamolus nambur, jala martitir hodokna paronan na ro sian Dolok manuati dohot manganakhohi dolok-dolok i, dihunti gadongna dohot bingkauna laho tu Onan Baligeraja, ditapol tugona diompa-ompa poso-posona. Hape atik pe songon i, ingkot rapot,ingkon runggu do tu Onan Baligeraja i; ala di Onan i do partingkian, mangalap dohot manaruhon angka ngolu-ngolu dohot janji-janji dohot angka na asing.
MAMANTIKHON BARINGIN BIUS GODANG
“Habang ma sitapi-tapi, songgop siruba-ruba
“Patik na so jadi mose, uhum na so jadi muba
Dung laho be angka anggi ni Sibagot ni Pohan na mardandi i manopot tano naung niriritan nasida hian:
  • Sipaetua laho dompak Laguboti
  • Silahisabungan dompak Silalahi Nabolak
  • Siraja Oloan dompak Pangururan boti tu Bakara
Di laon-laon ni ari, dijujur Sibagot ni Pohan ma ari laho mamantikkon Baringin Bius Godang di tano Baligeraja, asa di gurguri onan i na jadi Bius Godang di pinompar ni Sibagot ni Pohan manuan hau baringin, jabi-jabi dohot hariara. Asa gabe tuko na so sibutbuton gadu naso sisosaan ma angka hau sinuan na di Onan i, partanda ma i di paronan, harungguan dohot partungkoan di angka Raja Jungjungan, Raja Naopat, Raja Nauwalu, Raja Nasampuludua dohot angka Raja Parbaringin, Datu Bolon dohot Sibaso Bolon
Dungi di torsahon Sibagot ni Pohan ma torsa ni Harajaon Bius i, diatur ma sian anakna na opat i:
  1. Tuan Sihubil
  2. Tuan Somanimbil
  3. Tuan Dibangarna
  4. Raja Sonakmalela
dipasu-pasu ma asa gabe Pusaka Harajaon i manguluhon Bius Godang i “Bius Patane Onan Balige” Jala ditotaphon ma tu nasida be songon i sahat tu pinomparna
Songon on ma partonding ni harajaon na sinantikhon na i:
Bagian parjolo
  1. Harajaon Pande Nabolon, ima Tuan Sihubil sahat tu pinomparna
  2. Harajaon Pande Raja, ima Tuan Somanimbil sahat tu pinomparna
  3. Harajaon Pande Mulia, ima Tuan Dibangarna sahat tu pinomparna
  4. Harajaon Pande Namora, ima Raja Sonakmalela sahat tu pinomparna
Bagian paduahon
  1. Harajaon Saniangnaga, paidua ni Pande Nabolon
  2. Harajaon Parsinabul (Hinalang), paidua ni Pande Raja
  3. Harajaon Parsirambe (Patuatgaja),Paidua ni Pande Mulia
  4. Harajaon Mamburbulang (Parjuguk), paidua ni Pande Namora
Bagian patoluhon
  1. Harajaon Undotsolu (Raja Laut)
  2. Harajaon Panguluraja (Ulu Porang)
  3. Harajaon Pande Aek (Parhauma)-Pnagulaon
  4. Harajaon Panguludalu (Parpinahanon)
Asa songon i ma partording ni Harajaon di Bius Godang, Bona Pasogit di pinompar ni Ompunta Tuan Sorimangaraja, di tano Baligeraja tinombangna i jala anak sihahaan ma ibana sian ompunta Tuan Sorbanibanua.
  • Asa na opat parjolo i ma junjungan ni Bius i, di adat Hadewataon Adat Batak (Ugamo Batak)
  • Na dibagian paduahon i ma di Horja dohot Luat gabe Raja Naualu
  • Na di bagian patoluhon i ma pangatur, sijaga pintu julu dohot pintu jae
“Bagot na madungdung ma tu pilo-pilo marajar
Asa tinggal ma nalungun sai ro ma na jagar”
Dung buhar tubu ni Boru Basopaet, sian Lumban Gala-gala, Lobu parserahan i, tarsubut ma ingkon mangan horbo sakti tubu ni Nai Tukaon, asa tambakhonon nasida Siraja Hutalima anggi nasida naung mate i.
dung rumbuk tahu nasida Sibagot ni Pohan dohot anggina na tolu i: Sipaetua, Silahisabungan dohot Siraja Oloan, disuru ma anggina na tolu i mamulung tu harangan, Sipaetua ma sibuat hotang harihir ni horbo, Silahisabungan sibuat haundolok borotan ni horbo i, Siraja Oloan ma sibuat hauanak dohot sijagoran jungjung buhit ni borotan i (ranting ni hau slom, baringin, sanggar, ompu-ompu dohot angka na asing)
Dung i laho ma nasida, dihondor ma solu dalan nasida, alai hasit do roha nasida mida hahana Sibagot ni Pohan i, ala nasida disuru adong do naposo siparbagaon. Borhat ma nasida Sipaetua pangabarasi di jolo, Silahisabungan pamoltok ditonga-tonga si Raja Oloan ma pangamudi di pudi. Sahat ma nasida tu harangan Pealeok diririti nasida ma jolo harangan i sukup do adong disi sipulungon nasida i.
Dungi laho ma nasida jumolo tu tano Laguboti manghakapi tano i di ida nasida ma denggan tano i bahen parhaumaan, sukup aek jala hornop. On ma muse diahu puang ninna Sipaetua.
Dungi laho muse nasida marsolu dompak mangori-ngori dolok dohot tor sahat ma nasida tu Silalahi mamolus tao na bolak i, diida nasida ma tano i denggan boi parhaumaan dohot taoi gabe pandaraman. Jadi didok Silahisabungan ma: On ma di ahu ninna.
Sian i muse, malluga ma nasida mangori-ngori dolok dohot tor, dibolus nasida ma tano ponggol na di Pangururan (panoguan do goar ni tano ponggol i). Dungi muse sahat ma nasida tu Bakkara, dung di ida nasida denggan tano i, bahen parhaumaan didok Siraja Oloan ma: On ma diahu ninna.
Dungi mulak ma nasida muse tu Paselok hasahatan parjolo i, dionggopi nasida ma, manang na pasauton ni haha nasida i do Saktirea i nang so disi nasida. Jala molo dipasaut ima bonsir parsirangan bahenon nasida dompak hahana i. Dung sai dibilangi nasida ari sian parborhat nasida i, sahat tu parmulakna i marpingkir ma nasida naung dipasaut hahani Saktirea i.
Ianggo Sibagot ni Pohan dung sai dipaima-ima ndang marnaro angka anggina i, marsak do rohana aik beha na adong mara nasida di harangan i, dung saep ndang ro be sahat tu ari na tiniti, bulan na pinillit, jala nunga huhut mandasdas amanta Datu dohot Inanta Boru Sibaso, dihudus ma angka naposo mamulung dohot mambuat borotan sian angka huta di bagasan horja i (on ma na nidokna nunga tare parasoman)
Dung rade sude, dibona ma gondang i, dipasaut Sibagot ni Pohan ma ulaon Saktirea i. Aturan pitu ari hian lelengna, gabe tolu ari nama dibahen Sibagot ni Pohan, ala nunga sai hambirang rohana di langka ni angka anggina i.
Ia dung dibege angka anggina i lengesna naung salpu Horja Saktirea i, roma anggina na tolu i mamboan pulung-pulungan nialap nasida i, tar manimbas be ma dompak jolo ni Sibagot ni Pohan mandok: “Ia i ba! Na so uhum na so adat do binahenmi dompak hami, burju rohanami mangoloi hatam mangalap pulung-pulungan, hape tung mamulik do roham di hami, asa holan ho manortori gondang Saktirea i
Dung muruk jala piri-pirion ma nasida, morpasa-pasa ma nasida tu Sibagot ni Pohan didok ma: “molo tung na hombar ma habinahenmi tu hami diruhut ni paranggion dipulik ho hami. asa ho mangkasuhurhon Sakti i, ba horas ho, horas nang hami! Alai anggo na magalaosi do ho, di adat ni Opunta dohot Amanta, ba tung ho ma na sari disi haha-doli, ninna”.
Dungi dialusi Sibagot ni Pohan ma: “Beasa pola marpasa-pasa hamu na tolu dompak ahu na rap suhut do hita, hamu do na malelenghu dang marnaro, gariada huraksahon do hamu, hurimpu na adong maramu di parlaho mui, ai ndang patut songon i lelengna, ulaon sadari do gabe saminggu lelengna hamu, dungi muse nunga dapot titi ni ari, nunga tare parasoman, nunga manghudus Datu dohot Sibaso, ingkon mamona na di gondang i ba ido umbahen pinasaut” Alai hudok pe songon i manganju ma ahu di hamu: “Pauk-pauk hudali ma, pago-pago tarugit, na tading niulahan, na sega pinauli”. na boi ulahan do na tading, na boi paulion do na sega. Ba dos rohanta mangan horbo sakti sahalinari horbonta do horbo, doalta do doal, palampot hamu be ma ate-atemu dohot rohamu, ninna Sibagot ni Pohan mandong anggina na tolu i.
Dungi di oloi angka anggina i ma pardengganan i, asa diulakhon muse margondang mangaliat horbo. Alai andorang so dititi nasida dope ari, direngget nasida ma jolo taringot tu parjambaran, manang songon dia parpeakna. Didok nasida ma: “Sipaetuama ihur-ihur, Silahisabungan ma sijalo hulang-hulang, Siraja Oloan ma pura-pura”
Dung dibege Sibagot ni Pohan i pandok nasida taringot tu jambar-jambar i, didok ma: “Ianggo parjamabaron songon na pinangidomu i, ndang tingkos i. Angat dohot na so adat do i, ai jambar suhut do i sude sibahenon tu raga-raga (pangumbari) di panganon horbo sakti, mangihuthon adat ni Amanta”, ninna. (Diboto nasida do Sibagot ni Pohan Raja Jolo hundul di rumabolon jabu bona, ingananni raga-raga parsibasoan i, singkat ni ama. Alai lupa do nasida “ndang na matean ama nasida ianggo adong do hahana).
Dung i di dok nasida na tolu ma tu Sibagot ni Pohan: “ianggo songon i do dohononmu ba di ho do hape jambar i sude, alani i ndang olo be hami domu dohot mangoloi hatam tumagon ma hami sirang laho sian on, asa haru bulus roham. Asa tung timus ni api nami pe dompak ho, ingkon intopan nami, gaol nami pe molo dompak ho sombana i (santungna) ingkon tampulon nami. Asa gabe i ma gabem, ndang na ro di ho be hami. Jala muse tung na so jadi songon horjami bahenon nami horjanami”
Songon i ma dalan parsirangan ni Sipaetua, Silahisabungan dohot Siraja Oloan sian hahana Sibagot ni Pohan
“MARTUMBA MA AILI, MARJOJING BABI DALU”
SADA MANDOK TIAS, DUA MANDOK MALU”
Dung so dapot be pardengganan taringot tu porjambaron i, songon pinagidoan nasida sada mandok tias, dua mandok malu, saut ma marruntus ma nasida maninggalhon Sibagot ni Pohan, martiptip marolangolang ma nasida tung timus ni apina ingkon intopanna dohot santung ni gaolna ingkon tampulonna molo dompak Sibagot ni Pohan.
Jadi dung laho nasida, martutup jala marbula ma muse nasida mandok: “Tung na so jadi oloan manang pardomuhonon nasida be Sibagot ni Pohan manang tu ro pe mangelek-elek nasida” Jla molo tung ro pe manopot hita sada-sada lehet do alusan di hata, alai masigilingan ma hita mandok songon on: “Aha ma ianggo ahu, sian si Anu ma elek” songon-songon i ma dohonon ni nasada dohot na sadanari, masigilingan ma hata nasida asa jut rohana jala loja ibana sonon i ma hata parbulanan nasida,
Dung sae nasida na marbulan i laho ma Sipaettua mangihuthon padan nasida dompak Laguboti tu tano naniriritna tinodona i. Laho Silahisabungan dompak Silalahi Nabolak tu tano naung tinodo na i. Songon i Siraja Oloanlaho ma dompak Bakkara tu tano naung ni idana i.
Di si ma di bahen nasida be ma asa asing-asing adatna di Horja mangaliat horbo sian na binahen ni Sibagot ni Pohan. Alai anggo Siraja Oloan, diuba dohot di ose do muse padan dohot bulanna i, ai gabe dos do pangulahonna dohot Sibagot ni Pohan di horja mangaliat horbo i. Ala tarsunggul do tu rohana hatigoran dohot hasintongan di an niidana dohot na binotona taringot tu sakti rea binahen ni amana Tuan Sorimangaraja II. Di ida do raga-raga gantung di rumabolon marsi guri-guri sijonggi, piso surik dohot daung simaligas dohot daung napandang, jonok tu pangumbari pamelean di jabu, molo pamelean di alaman manang di balian, ima langgatan si tolu suhi-suhi si tolu goli-goli.
“TINAMPUL BULUNG SIHUPI, PINARSAONG BULUNG SIHALA,
UNANG TARSOLSOL DI PUDI, NDADA SIPAINGOT SOADA”
Dilaon-laon ni ari disada tingki masa do logo ni ari sinanggar-nanggar di tano Baligeraja, marsik do gulu-guluan dohot mual, rahar sua-suanan mosok dohot duhut-duhut dibahen logo ni ari i, jadi nunga tung hasit dapot ngolu ni halak dohot pinahan maesa do roha mahiang daging melos bohi sai holan na mangholsoi, marangkup do muse sahit butuha dohot ngenge nabirong tu jolma dohot pinahan godang do na mate ala ni sahit-sahit i.
Ala ni i di jou Sibagot ni Pohan ma Datu dohot Sibaso partondung na utusan, poralamat pandang torus asa diilik ditondung parmanukon siaji nangkapiring, aha do alana umbahen pola masa songon i. Dung disungkun Datu dohot Sibaso marhite tandung i, tarida ma di jaha-jaha ni tondung parmanukon i songon on: Ingkon marsahata, mardenggan do Sibagot ni Pohan dohot anggina na tolu i, topoton na, elekonna, taguonna molo na mardandi, apulonna molo na tangis. Ai adat Raja do “Sitogu na mardandi dohot siapul na tangis”
Alai nunga matuabulung Sibagot ni Pohan, anak na Tuan Sihubil ma disuru wakilna manopot dohot mangelek-elek angka anggina na tolu i, asa mardenggan nasida, marsiamin-aminan songon lampak ni gaol, marsitungkol-tungkolan songon suhat di robean asa mardame nasida marindahan sinaor, jala borothonon ni Sibagot ni Pohan ma sada horbo ambangan nasida asa ro udan paremean sipagabe na niula.
Dungi laho ma Tuan Sihubil dihondor ma solu bolon huhut mardoal-doal. Jumolo ma ibana sian Laguboti manopot Sipaettua, dungi tu Bakkara manopot Siraja Oloan, sian i muse tu Silalahi monopot Silahisabungan. Alai sai masigilingan hata ma nasida na tolu marningot padan dohot parbulanan nasida. Gabe ndang adong hata na hantus mangolohon nanggo sada sian nasida na tolu. Gabe marsak ma rohani Tuan Sihubil, alai di namulak nasida sian Silalahi, mamolus ma nasida sian Tolping dung dibege isi ni Tolping i suara ni doal i sahat tu pasir nasida rongom ma ro jolma sian huta dohot angka dakdanak na marmahan disi toho muse adong angka ina marsigira di topi pasir i. Dung disungkun ise adong tubu ni Silahisabungan di napungu i pintor di tangkup nasida ma Sigiro gl Raja Parmahan, ima anank ni Pintubatu sian Tolping pahompu ni Silahisabungan ma i sian anak hajut , ima di usung nasida daon impol sian pardalanan nasida i.
Dung i borhat ma nasida muse sian i mangulahi ma muse nasida laho dompak Bakkara mangelek-elek Siraja Oloan. Leleng do jolo sai dijuai marningot padanna dohot Sipaettua dohot Silahisabungan. Alai dung sai dipingkiri ibana taringot tu hasusaan ala ni leleng ni logo ni ari i dohot sahit-sahit na pamate jolma dohot pinahan di tano Bona Pasogit i, mulak ma rohana mangoloi elek-elekna i mardomu muse nunga pola diida Siraja Oloan diboan nasida pahompu ni Silahisabungan hira songon singkat ni langkana.
Ala nunga diloloi Siraja Oloan elek-elek nasida i, dilehon nasida ma tu Siraja Oloan sada ulos Suri-suri Ganjang, dungi rap bothat ma nasida tu tano Baligeraja. Asa gabe adat do muse silehon ulos hahana tu anggina jala mardongan parbue bota-bota. Sahat dope binoto muse sono i di Harajaon Singamangaraja, molo ditopot angka Raja Porbaringin Raja i tu Bakkara, ulos suri-suri ganjang do dilehon dohot parbue bota-bota, songon hamauliateon ni roha marningot adat na sian sijolo-jolo tubui.
Andorang so sahat dope solu nasida tu topi pasir Balige, nunga masibegean soara ni doal sian tao dohot soara ni doal na manomu-nomu di pasir. Manortor ma Raja Solu Tuan Sihubil di ulu ni solu i, mallutuk mardorop ma soara ni hole, dipahusor-husor ma jolo solu i tolu hali dompak tao, ipe asa sipasahat tu pasir. Martopap ma jolma i sude marhoras-horas, diiringhon doal na dua bangunan i Siraja Oloan dohot Siraja Pormahan margondang dalan sahat tu huta.
Dung pajumpang dohot Sibagot ni Pohan nasida na ro i, masitabian masipasauran dama ma nasida huhut tangis be ala ni sihol nasida. Diummai ma dohot Siraja Pormahan, dipabolak ma amak hundulan di jolo ni rumabolon i hundul be ma manangihon barita ni pardalanan ni Tuan Sihubl dohot pardapot ni Siraja Pormahan dohot pangoloi ni Siraja Oloan.
Marsogot na i diborothon nasida ma horbo ambangan i, ditortori Siraja Oloan dohot Siraja Pormahan ma jolo laho mangaliat horbo i, saiu marria-ria marolop-olop jala marhoras-horas ma nasida saluhutna ama dohot ina, dung sae tortor liatan i martonggo ma Sibagot ni Pohan paboahon naung marsahata nasida marsidengganan maruli ni roha. molo tung adong na sintak maebur songon parabit ni na so ra malo, na tu jolo tu pudi songon pamgambe ni paronan, asa gundur pangalumi, ansimu pangalamboki, di na hurang di na lobi asa di lambok-lamboki Mulajadi Nabolon, Dewata Natolu dohot Sahala ni Ompu dohot Ama.
Dung i amanta Datu dohot Boru Sibaso ma muse martonggo manggoki gondang i, pintor mardobor-dobor ma langit paboa udan. Ro ma udan mansai gogo situtu. “Mago do logo ni ari tolu taon onom bulan dibahen udan sadari” pintor rata ma duhut-duhut. Siraja Oloan pe di pataru ma muse mulak tu Bakkara.
Sumber: Pusata Tumbaga Holing
 
TOGA LAUT PARDEDE | © 2010 by DheTemplate.com | Supported by Promotions And Coupons Shopping & WordPress Theme 2 Blog