Minculnya Pertanyaan besar ini , mengingat seringnya orang batak membahas perjuangan-perjuangan bangsa Batak dari sudut kepentingan dan keuntungan kelompok dan bahkan kepentingan diri sendiri. Dan tidak pernah mengulas sejarah demi kepentingan yang lebih luas dan besar seperti kebesaran suku bangsa Batak atau Bangsa Indonesia . Hal ini membuat kerugian besar bagi suku bangsa Batak sendiri.
Dan selalu menghindari keterkaitan sejarah dengan salah satu Agama, sehingga selalu mengklaim Pahlawan sianu adalah agama A atau Agama B. Seharusnya sebagai kita orang Batak yang manikmati hasil perjuangan-perjuangan Para pahlawan mampu mengimplementasikan pengorbanan mereka dalam mencapai kemakmuran, kesejahteraan bahkan keadilan.
Perlawanan yang dilakukan para Pahlawan dari sabang hingga Merauke tidak terlepas dari beberapa factor 1- Kebebasan mengelolah tanah leluhur mereka dibatasi oleh pejajah, misalnya oleh Portugis atau Belanda 2- Kebebasan suku bangsa –suku bangsa Indoneia didalam melaksanakan kebiasaan mereka terutama dibidang Ritual ataupun budaya terkekang.
Jadi kedua factor inilah yaitu TANAH dan BUDAYA terusik maka suku bangsa-suku bangsa Indonesia melakukan perlawanan yang sangat gigih.
Begitu halnya Perlawanan yang dilakukan Pejuang-pejuang Batak dalam melawan Belanda yang terkenal dalam perang Batak, mereka mengadakan perlawanan yang gigih dengan persenjataan seadanya adalah oleh karena terusiknya kebiasaan-kebiasaan atau Budaya/adat Batak didalam ritual maupun keyakinan mereka. Tidak ada hubungan kepentingan Agama didalamnya seperti Agama Islam, Perlawanan yang dilakukan Sisingamangaraja XII dengan tokoh-tokoh Batak lainnya , tidak ada hubungan dengan penyerangan kaum paderi yang bermazhab wahabi kepada Sisigamangaraja X, tetapi situasi ini dipergunakan Belanda untuk melemahkan perjuangan patriot-patriot Batak yang bersatu padu dengan pejuang-pejuang Aceh melawan Belanda ketika itu.
Demikian juga Agama Keristen, sebaliknya Belanda mempergunakan kaum MIssionaris sebagai tameng pendekatan pada rakyat batak yang tidak ikut berperang untuk melunturkan alat pemersatu Batak yakni kepercayaan kepada charisma Sisingamangaraja XII.
Dibawah ini ada kutipan dari tulisan :
Peran Zending dalam Perang Toba.
Laporan Nommensen tertanggal 20-6-1878 waktu ia mendampingi ekspedisi militer Belanda menumpaskan perjuangan Singamangaraja XII.
Publikasi “Utusan Damai di Kemelut Perang: Peran Zending dalam Perang Toba” menyorot peran penginjil Jerman dari RMG (cikal bakal VEM), terutama Ludwig Ingwer Nommensen, dalam Perang Batak Toba ke-I. Pada tahun 1877 para missionaris RMG memanggil tentara pemerintah kolonial Belanda karena mereka merasa terancam oleh pasukan Singamangaraja XII dan karena takut keberhasilan zending akan lenyap bila para misionaris diusir dari Silindung dan Bahal Batu. Panggilan misionaris segera ditanggapi oleh pihak pemerintah. Pada 6 Februari 1878 pasukan Belanda tiba di Pearaja, kediaman penginjil Ludwig Ingwer Nommensen, dan bersama-sama dengan penginjil Nommensen mereka berangkat ke Bahal Batu untuk menyusun benteng pertahanan. Si Singamangaraja yang merasa terprovokasi mengumumkan perang (pulas) pada tanggal 16 Februari. Pemerintah Belanda dan para penginjil memutuskan agar lebih baik untuk tidak hanya menyerang markas Singamangaraja di Bangkara tetapi untuk sekalian menaklukkan seluruh Toba.
Penginjil Nommensen dan Simoneit mendampingi pasukan Belanda pada perjalanan ekspedisi militernya dari bulan Februari hingga Mei 1878. Puluhan kampung (huta) Batak dibakar dan para raja huta diharuskan bersumpah setia pada pemerintah Belanda dan membayar pampasan perang. Jumlah korban jiwa di pihak Singamangaraja tidak diketahui dengan pasti namun bisa mencapai puluhan atau bahkan ratusan orang. Penginjil Nommensen yang mendampingi tentara penjajah dalam ekspedisi militer mencatat secara akurat kisah berlangsungnya Perang Toba Pertama.
Buku ini ditulis oleh Dr. Uli Kozok dan berdasarkan catatan otentik pihak zending yang untuk pertama kali diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.