Kamis, 26 Mei 2011

3
Adat Batak dari sudut pandang Kristen (1)


INJIL DAN ADAT BATAK

Oleh James Silalahi

Para Kata:


I. Apa dan Mengapa Adat Batak?

1.Konflik antara adat dan Injil

“Ompu parjolo (Raja Jolo) martungkot sialagundi (sampiran) Pinungka ni parjolo siihuthonon ni na di pudi”.
Artinya, hasil karya (adat istiadat) yg diciptakan oleh nenek moyang diikuti oleh keturunannya.

Apa yang dimaksud dengan “Adat”?
Menurut kamus umum Poerwadarminta, kata “adat” ( Yunani, paradosis) berarti sesuatu yang dilakukan secara berulang-ulang, sesuatu yang lazim dilakukan oleh masyarakat.
Adat juga dimengerti sebagai bagian dari kebudayaan yang dimengerti oleh Richard Niebuhr sebagai “the total process of human activity and the total result of such activity…the work of men’s minds and hands”.

Dr Jan S. Aritonang:
“Persoalan dan ketegangan antara Kekristenan dan Habatahon, atau antara Injil dan Adat Batak, sebenarnya sudah merupakan persoalan klasik; sudah muncul sejak berlangsungnya perjumpaan di antara keduanya, katakanlah sejak awal abad ke-19, ketika para Penginjil Barat datang ke Tanah Batak”

Lothar Schreiner
mencatat bahwa para utusan Zending dan raja membagi adat atas ketentuan-ketentuan dan unsur-unsur yang bersifat anti Kristen, yang netral dan pro-kristen.

Pdt. I.L. Nomensen
membagi Adat tsb ke dalam tiga kategori:
a. Adat yang netral
b. Adat yang bertentangan dengan Injil
c. Adat yang sesuai dengan Injil

2. Sikap yg menerima adat (pro adat)


Humala Simanjuntak:
“Sebelum hadirnya utusan Injil tsb, orang Batak telah mengenal dan mengalami nilai-nilai religius yang berasal dari nenek moyang orang Batak, yakni si Raja Batak. Nilai nilai religius itu dikaitkan semuanya dengan keseluruhan budaya asli Batak”.
- “Keseluruhan nilai-nilai (values) tersebut dapat dikatakan merupakan deep culture, yaitu nilai-nilai yang tidak luntur oleh hujan dan tidak layu oleh panas. Dia kokoh dan tahan uji, sulit dihapuskan oleh pengaruh luar, dia selalu relevan dan dapat menyesuaikan diri dengan keadaan baru”.

B. Sidabutar:

“…tanpa agama, kebudayaan tak punya arah tujuan yang jelas. Sedang tanpa kebudayaan agama tidak menemukan dasar pijaknya di bumi. Jelas bahwa agama dan kebudayaan itu sesungguhnya saling membutuhkan. Jelas pula bahwa adat istiadat itu pada dasarnya bukan sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai agamawi”.

3. Sikap yg menentang adat (Kontra adat)

Kelompok yang anti Adat Batak & buku yang ditulis:
- Pdt A.H. Parhusip, Jorbut Ni Adat Batak Hasipelebeguon.
- Edward B. Hutauruk, Adat Batak- Tinjauan Dari Segi Iman Kristen dan Firman Allah
- Henry James Silalahi: Pandangan Injil terhadap Upacara Adat Batak
- James Silalahi:
“Hadirnya seluruh unsur Dalihan Natolu… merupakan lambang dari kehadiran para roh sembahan leluhur dalam acara tersebut… Karena itu, setiap pelaku upacara agama Batak dibentuk secara rohani menjadi ‘Peta Tiga Dewa Batak’ atau ‘Peta Mulajadi Nabolon’, atau lebih tegas lagi ‘Peta Iblis’ “.
- Parhusip:
“Husungkan ma, dia ma tahe adat Batak na so ulaon hasipelebeguon. Nda sipelebegu do sude halak Batak andorang so ro dope hakristenon? Tung tagamon ma ulaning adong adat Batak na ias (sirang) sian hasipelebeguon? Molo adong, hatahon ma na dia ma i? Nda tubu di hasipelebeguon do na jolo ompunta di Batak? …”.
Dasar Alkitab: Mat 15:1-20, 1Pet.1:18-19 dan Gal.3:27.
- Mat.15: 6b
“… Dengan demikian firman Allah kamu nyatakan tidak berlaku demi adat istiadatmu sendiri”.
- 1Pet.1:18-19.
“Sebab kamu tahu, bahwa kamu telah ditebus dari cara hidupmu yang sia-sia yang kamu warisi dari nenek moyangmu itu bukan dengan barang yang fana, bukan pula dengan perak atau emas, melainkan dengan darah yang mahal, yaitu darah Kristus…”
-Gal.3:27:
“Karena kamu semua yang dibaptis dalam Kristus telah mengenakan Kristus” (Gal.3:27).

James Silalahi menulis tentang Nomensen:
“Namun sampai akhir hidupnya, Nomensen gagal menyelesaikan masalah tersebut. Salah satu sumber kegagalan Nomensen terletak pada kategori yang dibuatnya sendiri. Nomensen sulit menentukan upacara adat Batak mana yang tidak bertentangan dengan Injil dan upacara adat mana yang netral”.

Tuduhan terhadap pelaku Adat Batak:
1. Terlibat dalam kuasa kegelapan, mempraktekkan hasipelebeguon.
2. Kompromi & Sinkretisme.
3. Agama
4. Merampas hak Allah.

II. Bagaimana Memahami Adat Batak?


1.Pandangan Alkitab: Positif dan Negatif.
Bangsa Israel disebut telah berdosa kepada Tuhan, “karena mereka telah menyembah allah lain, dan telah hidup menurut adat istiadat bangsa-bangsa yang telah dihalau Tuhan dari depan orang Israel” (2 Raja2 17:7b-8).
Di pihak lain,
“… dilihat merekalah bahwa rakyat yang diam di sana hidup dengan tenteram, menurut adat orang Sidon aman dan tenteram. Orang-orang itu tidak kekurangan apapun di muka bumi, malah kaya harta”. (Hakim2 18:7)
- “Mereka mengambil mayat Yesus, mengapaninya dengan kain lenan dan membubuhinya dengan rempah-rempah menurut adat orang Yahudi bila menguburkan mayat” (Yoh.19:40)
- “Hati-hatilah, supaya jangan ada yang menawan kamu dengan filsafatnya yang kosong dan palsu menurut ajaran turun temurun (adat istiadat) … tetapi tidak menurut Kristus” (Kol.2:8).
“Di dalam agama Yahudi aku jauh lebih maju dari banyak teman yang sebaya dengan aku di antara bangsaku, sebagai orang yang sangat rajin memelihara adat istiadat nenek morangku” (Gal.1:14).
-“Sungguhpun aku bebas terhadap semua orang, aku menjadikan diriku hamba dari semua orang, supaya aku boleh memenangkan sebanyak mungkin orang. Demikianlah Bagi orang Yahudi aku menjadi seperti orang Yahudi, supaya aku memenangkan orang-orang Yahudi…bagi orang-orang yang lemah aku menjadi seperti orang yang lemah, supaya aku dapat menyelamatkan mereka yang lemah. Bagi semua orang, aku telah menjadi segala-galanya, supaya aku sedapat mungkin memenangkan beberapa orang dari antara mereka. Segala sesuatu ini aku lakukan karena Injil”(1Kor.9:19-23).

2.Adat Sebagai Hasil Karya Manusia

Adat diciptakan oleh manusia. Memahami adat, tidak terlepas dari
memahami manusia.
a. Manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah.
“Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita…” (Kej.1:26).
b. Manusia telah jatuh ke dalam dosa
- Kej.3
- Ro.3:9-20.
Karena itu:
- Tradisi salah satu suku di Afrika.
- Band. Ulangan 22;13-30; khususnya ayat 22.



HAKEKAT DAN MAKNA UPACARA ADAT BATAK



Sinkretisme dalam kehidupan orang-orang Batak didasarkan pada pemahaman, bahwa upacara adat itu hanya merupakan suatu kebiasaan yang diwariskan oleh leluhur. Karena itu keberadaannya perlu dilestarikan dengan cara menyingkirkan beberapa hal yang dinilai me ngandung unsur Hasipelebeguon seperti: perdukunan (Hadatuon), kesurupan (siar-siaran), pembuatan patung-patung (gana-ganaan), jimat (parsimboraon), menyembah setan (mamele begu) dan hal-hal lainnya.
Hasipelebeguon itu hanya sebagian dari bentuk tipuan yang dimainkan oleh iblis. Di
luar itu, masih banyak lagi bentuk hasipelebeguon lain yang sangat dibenci oleh
Tuhan. Hasipelebeguon itu mengambil bentuk yang lebih halus, sehingga sekilas
bisa dianggap tidak bertentangan dengan Firman Tuhan.

Kita tidak pernah mengajukan pertanyaan yang lebih mendalam terhadap upacara
adat: tentang hakikat, makna, dan tujuan dari upacara adat itu sebenarnya. Kita
tidak pernah bertanya, apakah arti keberadaan upacara itu bagi leluhur yang hidup
pada masa sebelum Injil tiba di tanah Batak. Apakah benar bahwa upacara itu
sungguh-sungguh tidak bertentangan dengan Firman Tuhan? Apakah layak sebagai
pengikut Kristus kita terlibat di dalamnya? Kita berpikir, karena hampir semua
orang telah melakukannya, maka tidak ada sesuatupun yang salah. Bahkan hampir
semua pemimpin umat Tuhan terlibat dalam aktivitas itu. Kita juga beranggapan,
bahwa identitas baru sebagai seorang Batak pengikut Yesus tetap didasarkan pada
nilai-nilai yang dianut oleh leluhur yang hidup dizaman Hasipelebeguon. Kita telah
menjadi orang Kristen yang kompromis dan permisif, seperti ungkapan Batak yang
mengatakan: “Eme na tasak digagat ursa, aha na masa ima na taula”.

Sinkretisme dalam kekristenan Batak dihasilkan oleh cara berpikir parsial, yang melihat upacara adat hanya sebagai unsur dari kebudayaan Batak yang terpisah
dari unsur-unsur budaya lainnya, seperti: religi, kesenian, hukum, dan lainnya.
Pandangan parsial merupakan suatu pola pikir yang menguasai pemikiran orang
Eropa pada abad 19. Mereka memisahkan antara religi dengan berbagai unsur
kebudayaan lainnya, seperti politik, ekonomi, sosial, hukum, dan lain-lain.
Pemikiran yang demikianlah yang digunakan Missionaris untuk menilai kebudayaan
Batak. Kebudayaan Batak dinilai dari sudut pandang orang Eropa, bukan dari sudut
pandang orang Batak itu sendiri.

Pendekatan antropologi memberikan pemahaman lebih menyeluruh (holistik)
tentang upacara adat. Pendekatan ini memandang upacara adat tidak hanya sebagai aktivitas sosial yang berdiri sendiri, tetapi berupaya menggambarkan segala nilai, ide, gagasan, paradigma, norma, dan kuasa roh yang ada dibelakangnya. Sehingga dapat digambarkan aktivitas itu sebagaimana yang dilihat oleh masyarakat pelaku budaya itu sendiri.

Penelitian antropologi memperlihatkan bahwa masyarakat Batak bersifat religius.
Artinya, seluruh unsur kebudayaannya dipengaruhi dan dibentuk oleh keyakinan
religi leluhur. Religi yang dimaksud adalah “agama Batak” atau Hasipelebeguon.
Segala upacara adat didasarkan atas ide, gagasan, nilai, paradigma, ajaran dan
kuasa dari roh sembahan leluhur. Jadi, upacara adat bukan sekedar tradisi leluhur,
melainkan rangkaian ritual agama Batak yang diajarkan kepada keturunannya.
Melalui upacara adat itu, para leluhur berupaya mengatasi berbagai bahaya yang
mengancam kehidupannya dan menjamin berkat (pasu-pasu) dari para roh yang
menjadi sembahan mereka. Religi Batak mengenal nama dewa yang diyakini
sebagai dewa tertinggi yang dipanggil dengan Ompu Mulajadi Nabolon atau Debata
Mulajadi Nabolon. Disamping itu dikenal juga beberapa dewa lainnya yang
bernama:
 Batara Guru,
 Mangala Bulan,
 Mangala Sori,
 Debata Asiasi,
 Boraspati Ni Tano,
 Boru Saniang Naga,
 roh-roh para leluhur dan berbagai macam jenis begu lainnya.

Seluruh roh sembahan ini dimanfaatkan untuk melindungi mereka dari berbagai entuk bahaya dan malapetaka, dan menjamin tercapainya kekayaan (hamoraon), kemuliaan (hasangapon), dan keberhasilan hidup (hagabeon).

Dengan menyebut upacara “agama Batak” dengan istilah “tradisi warisan leluhur”
atau “adat”, maka Iblis berhasil memperdaya banyak orang Kristen, dengan
membutakan mata rohaninya dari segala jerat kelicikan Iblis yang di-sembunyikan
di dalam upacara itu. Hal itu lebih dimungkinkan lagi karena kita tidak pernah bertanya lebih dalam tentang apakah sesungguhnya yang diwariskan oleh leluhur itu. Kita menerima begitu saja keberadaan upacara adat itu. Orang Batak lebih cenderung memahami detail dan urutan pelaksanaan upacara adat. Pembahasantentang kedua unsur ini bisa memunculkan suatu debat yang sengit dan panas. Tetapi sangat jarang dijumpai orang Batak, yang mengerti makna rohani dari upacara itu, dan yang mempertanyakan tentang prinsip-prinsip yang ada dibelakang upacara itu.

Karena itu, penulis hanya akan memperlihatkan beberapa prinsip utama yang mendasari upacara agama Batak atau upacara adat Batak. Dengan demikian, kita
akan mengerti bahwa tradisi warisan itu merupakan rangkaian upacara ritual agama leluhur. Dan kita akan memahami lebih jauh lagi bahwa upacara adat Batak
sesungguhnya bertentangan dengan Firman Tuhan.

A. Sumber Pengilhaman Upacara Adat

A.1. Turi-turian


Upacara adat Batak merupakan serangkaian aktivitas bermakna yang diilhamkan
oleh “roh” yang menjadi sembahan leluhur kita Siraja Batak, yang disebut dengan
nama Ompu Mulajadi Nabolon, yang biasa dipanggil “Debata”. Pengilhaman itu
dapat kita lihat dalam cerita lisan (turi-turian). Turi-turian itu bukan sekedar mitos
seperti anggapan banyak orang yang rasionalistik. Turi-turian itu juga menyimpan
beberapa fakta rohani dari asal muasal kehidupan religius leluhur orang Batak.
Melalui turi-turian kita dapat menelusuri sumber awal dari keberadaan adat Batak.
Manusia pertama Si Boru Deak Parujar dengan suaminya Tuan Ruma Gorga
memiliki sepasang anak kembar. Ketika itu hubungan manusia dengan para
dewa harmonis dimana mereka sering berjumpa secara langsung di puncak
gunung Pusuk Buhit. Kedua anak tersebut melakukan hubungan sumbang
sehingga para dewa marah. Mulajadi Nabolon kemudian membawa kedua orang
tua anak tersebut ke langit. Salah satu dewa, yaitu Debata Asi-asi
diperintahkan oleh Mulajadi Nabolon menemani kedua anak kembar itu.
Karena merasa kasihan, Debata Asi-asi meminta supaya Mulajadi Nabolon tetap
membimbing kedua anak manusia tersebut. Mulajadi Nabolon memberikan adat
sebagai pembimbing mereka dengan cara mamemehon (menyuapkan) adat ke
mulut keduanya. Setelah itu para dewa menjauh dan tidak mau berhubungan
langsung dengan manusia. Supaya tetap mendapat perkenanan Mulajadi
Nabolon, kedua anak kembar tersebut, yaitu si Raja Ihat Manisia dan Si Boru
Itam Manisia serta keturunannya harus memelihara adat yang diberikan oleh
Mulajadi Nabolon.
Versi lain, yang ditulis oleh Raja Patik Tampubolon, yang dikutip dari Lothar
Schreiner dalam bukunya “Telah Kudengar Dari Ayahku”:
Ketika Si Raja Batak menjadi tua, dipanggilah kedua puteranya, Raja Isumbaon dan Raja Ilontungon, supaya mereka menyiapkan baginya jamuan perpisahan. Segala sesuatu yang ia punyai telah ia serahkan kepada mereka: kekuatan,pertumbuhan, harta kekayaan, kekuasaan, kehormatan, pengetahuan,
pendidikan, dan kebijaksanaan. Putera -puteranya menjawab bahwa itu
semuanya benar, tetapi ada sesuatu yang belum diberikannya kepada mereka,
dan ia harus berpikir-pikir tentang itu. Ia tidak berhasil. Oleh sebab itu, ia
berserta kedua puteranya naik ke gunung Pusuk Buhit membawa korban
persembahan setia kepada Debata Mulajadi Nabolon untuk menanyakan
kepadanya, apa yang diminta oleh puteranya tersebut. Ia memanjatkan doa
yang panjang, sesudah itu Mulajadi Nabolon memberikan kepadanya dua kitab,
yakni Pustaha Laklak (kitab kulit) dan Pustaha Tumbaga (kitab tembaga), yang
berisikan tentang hadatuon dan habatahon (adat Batak). Kitab yang pertama
diserahkannya kepada Raja Ilontungan, dan kitab kedua kepada Raja
Isumbaon.

Pengilhaman oleh roh sembahan leluhur dinyatakan secara implisit dalam istilah
mamemehon pada cerita pertama, dan melalui pemberian kedua kitab dari Mulajadi
Nabolon pada cerita versi kedua. Jadi, terlihat bahwa upacara adat bukan merupakan hasil pemikiran dari leluhur semata, tetapi merupakan konsep, ide, paradigma, nilai budaya, norma agama yang ditransferkan ke pikiran leluhur oleh roh sembahannya. Hal ini kemudian diajarkan secara lisan kepada keturunannya. Pemahaman yang diilhamkan inilah yang harus dilakukan oleh para leluhur dan diajarkan kepada keturunannya untuk diikuti dan dilestarikan keberadaannya. Kita harus menyadari, bahwa selain dari Tuhan, Iblis juga dapat memasukkan berbagai gagasan pemikirannya ke hati dan pikiran manusia. Alkitab memberikan beberapa contoh, yaitu ketika Petrus menegor Yesus berkaitan dengan pernyataan-Nya tentang rencana penyaliban, dan kemudian Petrus dimarahi Yesus. Pernyataan Petrus ini didorong oleh kehadiran Iblis yang kemudian menyuntikkan pikirannya kedalam pikiran Petrus, yang tercetus pada ucapannya. Reaksi Yesus adalah:
Maka berpalinglah Yesus sambil memandang murid-murid-Nya Ia memarahi
Petrus, kata -Nya: “Enyahlah Iblis, sebab engkau bukan memikirkan apa yang
dipikirkan Tuhan, melainkan apa yang dipikirkan manusia.” (Markus 8:33)

Contoh lain, ketika Iblis memasukkan gagasannya kedalam pikiran Daud untuk
melakukan sensus penduduk, seperti yang tertulis pada I Tawarikh 21:
“Iblis bangkit melawan orang Israel dan ia membujuk Daud untuk menghitung
orang Israel (1). Tetapi hal itu jahat di mata Tuhan, sebab itu dihajar-Nya
orang Israel (7).”
Bimbingan langsung iblis secara gaib di dalam hati manusia pada saat ini, juga dapat kita lihat di dalam aktivitas para dukun di dalam memeriksa, menemukan penyakit dan mengobati para pasiennya.

Persoalannya, banyak orang Kristen yang beranggapan bahwa roh sembahan leluhur yang disebut Debata Mulajadi Nabolon adalah benar-benar TUHAN (YHWH= terjemahan Batak: Jahowa), yaitu Pencipta Semesta Alam yang sesungguhnya.
TUHAN (Yahowa) inilah yang kita panggil sebagai Bapa di dalam Tuhan Yesus
Kristus. Sesungguhnya, TUHAN (Yahowa) tidaklah sama dengan Debata Mulajadi
Nabolon. Debata Mulajadi Nabolon adalah nama malaikat Iblis yang menguasai
wilayah kehidupan leluhur orang Batak. Malaikat Iblis itu telah menipu leluhur kita
dengan mengaku diri sebagai pencipta alam semesta. Malaikat iblis ini juga yang
telah memberikan berbagai ilmu kesaktian dan mengilhamkan upacara dan aturan
hidup agama Batak yang kita sebut ADAT.

Alkitab menegaskan bahwa para illah yang disembah oleh berbagai suku bangsa di
dunia bukanlah Tuhan (Elohim) yang sejati. Mereka adalah para malaikat iblis yang
menipu leluhur setiap suku bangsa dengan mengaku sebagai Tuhan. Hanya Bapa, yang kita kenal di dalam Tuhan Yesus, adalah TUHAN (Aku adalah Aku) Semesta
Alam. “Akulah TUHAN (YHWH) dan tidak ada yang lain” (Yesaya 45:5) Hukum
Taurat menegaskan: “Akulah TUHAN (YHWH = Yahowa, Yahweh), Tuhanmu
(Elohim), yang membawa engkau keluar dari tempat perbudakan jangan ada
padamu illah lain di hadapan-Ku” (Ulangan 5:6,7).

Kegagalan iblis untuk menyamai TUHAN dan merebut tahta -Nya di sorga seperti
yang dipaparkan dalam kitab Yesaya 14:12-23, tidak membuatnya putus asa. Iblis
melanjutkan usahanya di bumi dengan bantuan para malaikat iblis dan roh-roh
jahat. Dia berhasil menjadi tuhan di tengah-tengah banyak suku bangsa, sambil
memamerkan kesaktiannya dan kebaikan palsunya (?) untuk membuktikan
ketuhanannya kepada para leluhur suku bangsa tersebut. Debata Mulajadi Nabolon
ini adalah nama salah satu malaikat iblis yang memberontak terhadap TUHAN
(Yahowa), dan kemudian dicampakkan oleh TUHAN ke dunia.

Dalam ketidaktahuannya, leluhur bangsa-bangsa di bumi telah tertipu oleh iblis dan
menyembahnya. Iblis menyatakan dirinya melalui berbagai nama yang berbeda
pada setiap suku bangsa. Pada bangsa Batak dia mengaku sebagai Debata Mulajadi
Nabolon, atau Ompu Tuan Mulajadi Nabolon. Orang Simalungun menyebutnya
sebagai “Naibata”, dan orang Karo menyebutnya sebagai “Dibata”. Pada suku
bangsa Nias dia dinamai dengan Lowalangi, dan berbagai nama lainnya pada
berbagai religi suku bangsa di dunia.

Malaikat iblis inilah yang telah memberikan berbagai ilmu kesaktian, ilmu
perdukunan dan kemampuan gaib lainnya kepada leluhur Batak. Leluhur penulis,
Raja Silahi Sabungan, juga menerima ilmu kesaktian dan ilmu hadatuonnya dari
Debata Mulajadi Nabolon. Karena ketidaktahuannya, para leluhur telah menyembah
kepada iblis yang mengaku sebagai Mulajadi Nabolon, dan telah mengikat berbagai
perjanjian bagi dirinya dan keturunannya.

Sementara TUHAN (Yahowa), yakni Bapa di dalam Yesus Kristus sangat membenci
dan menentang segala bentuk ilmu kesaktian dan ilmu perdukunan yang ada dalam
kehidupan manusia, termasuk yang dikenal dalam masyarakat Batak. Sehingga
tidak mungkin Dia yang memberikan berbagai ilmu kesaktian dan Hadatuon kepada
leluhur kita. Kemungkinannya hanya satu, iblislah yang memberikan segala ilmu
kesaktian dan Hadatuon itu.

A.2. Rekomendasi Datu


Pengilhaman upacara adat atau upacara agama Batak oleh iblis dapat kita lihat
juga dalam kasus sehari-hari yang masih sering terjadi dalam masyarakat Kristen
Batak, dimana seseorang atau satu keluarga melakukan upacara adat berdasarkan
nasehat seorang datu (dukun). Contoh kasus:
• Seorang bapak bermarga Sagala memberitahukan kepada hula-hulanya
bahwa dia dengan anak dan cucunya akan datang ke rumah hula-hulanya itu.
Mereka datang dengan membawa makanan adat (marsipanganon) guna meminta ulos dari sang hula-hula. Dalam perbincangan selanjutnya terungkap bahwa kehidupan ekonomi dari keluarga bapak Sagala selalu susah. Dan atas nasehat seorang datu (dukun) mereka diminta untuk pergi ke rumah hulahulanya meminta ulos, supaya kehidupan ekonomi mereka akan menjadi baik.

Seorang ibu bernama Resli (samaran) amat sedih atas kondisi seorang putranya yang sering mengalami musibah, dan pada puncaknya anak tersebut mengalami depresi berat. Atas petunjuk seorang Sibaso (spirit medium) mereka diberitahu bahwa kondisi anak itu disebabkan tondinya diikat oleh suatu roh jahat. Mereka dinasehati untuk pergi ke rumah hula-hulanya guna meminta ulos. Dengan ulos pemberian dari hula-hulanya, maka tondi anak itu akan kembali dan kesehatannya diyakini akan segera pulih kembali.

Kasus di atas merupakan dua contoh kasus yang sering dijumpai di kehidupan
sehari-hari. Orang Batak melakukan upacara adat berdasarkan petunjuk dari
“Datu” atau “Sibaso” untuk mencapai sesuatu yang diinginkan olehnya. Nasehat itu
biasanya dimintakan ketika mereka mengalami suatu penyakit, kesialan, marabahaya
atau kemalangan, kesulitan ekonomi atau demi kesuksesan suatu rencana.

Rekomendasi untuk melakukan upacara adat bisa didorong oleh keyakinan sendiri
maupun atas nasehat para Datu, Sibaso atau paranormal lainnya, yang ilmunya
berasal dari malaikat iblis penguasa teritorial Batak.

Seorang rekan di Medan baru-baru ini didatangi oleh seorang familinya yang adalah seorang Parmalim. Dia datang dari bonapasogit ditugaskan oleh roh ompung mereka untuk mengumpulkan seluruh keturunannya dan melakukan upacara adat. Melalui upacara itu, mereka semua akan diberkati oleh roh tersebut dan seluruh sawah milik roh ompung mereka yang ada di kampung itu dahulu, yang sekarang telah dimiliki oleh orang lain, akan dikembalikannya kepada mereka. Sebagai anak Tuhan, rekan tadi menolak rencana itu, tetapi salah satu keluarga lain yang ada di Medan menerimanya. Pada saat itu dirumah orang yang menerima itulah, sang parmalim mengalami kesurupan roh ompungnya. Dalam kesurupan itu, roh ompung mereka itu memberi petunjuk mengenai upacara yang harus mereka lakukan. Sebelum petunjuk dib erikan,maka roh itu meminta suami-istri itu duduk bersila di depannya dengan
memakai ulos dan memegang Alkitab.

Malaikat iblis pasti akan memberikan rekomendasi bagi orang-orang yang datang
meminta jasa darinya dengan cara -cara yang berkenan dihatinya. Cara itu akan
merujuk kepada pelaksanaan upacara adat yang telah diilhamkannya kepada
leluhur orang Batak. Rekomendasi ini memperlihatkan bahwa upacara adat
merupakan upacara yang berasal dari malaikat iblis penguasa teritorial Batak,
karena itu dia tetap berupaya supaya tiap generasi orang Batak kembali
melaksanakan upacara agama itu.

Rekomendasi ini akan lebih jelas dimengerti dengan memahami lebih lanjut tentang agama Batak. Debata Mulajadi Nabolon memiliki tiga putra yang merupakan pancaran kemuliaannya, yaitu Batara Guru, Mangala Sori, dan Mangala Bulan. Mulajadi Nabolon memberikan suatu kekuasaan dan kemampuan khusus kepada ketiga putranya itu. Batara Guru menguasai dunia atas yaitu dunia para dewa (banua ginjang), Mangala Sori menguasai kehidupan di dunia (banua tonga),dan Mangala Bulan menguasai dunia bawah, dunia roh-roh jahat dan setan (banua toru).

Sebagai penguasa dunia atas, Batara Guru memiliki rahasia hikmat dan
kebijaksanaan (hahomion) debata. Dengan demikian dia memiliki kemampuan
untuk me nyelesaikan berbagai persoalan hidup manusia. Batara Guru juga
memperoleh kuasa untuk menciptakan segala jenis binatang dan tumbuhan. Berkat
dari Batara Guru disalurkan melalui Hula-hula dalam pelaksanaan upacara adat.
Mangala Sori menjadi dewa yang menguasai segala ilmu Hamalimon (keimaman),
sehingga dia menjadi sumber ajaran “hamalimon” di tengah-tengah bangsa Batak.
Raja Sisingamangaraja adalah salah seorang “malim” terbesar yang pernah lahir di
dalam sejarah religi Batak.

Mangala Bulan diberikan kemampuan dalam bidang ilmu “Hadatuon” sehingga dia
menjadi sumber ilmu Hadatuon di tengah-tengah bangsa Batak. Raja Silahi
Sabungan adalah salah satu Datu Bolon yang pernah dikenal oleh masyarakat
Batak.

Kemampuan khusus yang dimiliki oleh ketiga dewa tadi berasal dari sumber yang
sama, yaitu Mulajadi Nabolon. Ketiga ilmu yang dialirkannya kepada manusia
merupakan berkat yang satu, utuh dan saling melengkapi dan diperuntukkan bagi
bangsa Batak. Sehingga wajar saja para datu, malim memberikan rekomendasi
kepada orang-orang Batak untuk melakukan upacara adat untuk mencari solusi
persoalan hidupnya. Melalui upacara adat orang diarahkan untuk mencari
penyelesaian masalah hidup kepada Batara Guru, yang kehadirannya diwakili di
dunia oleh Hula-hula. Dengan hikmat dan kebijaksanaan yang dimiliki oleh Batara
Guru, manusia (dalam hal ini Boru) akan mendapatkan pertolongan dari Debata
dalam mengatasi persoalan hidupnya. Pertolongan Batara Guru dinyatakan melalui
berkat yang diberikan oleh Hula-hula.

Pelaksanaan upacara adat Batak pada masa Hasipelebeguon biasanya dipimpin
oleh Datu atau Malim. Upacara adat, hadatuon dan hamalimon merupakan 3 unsur
berbeda, tapi menyatu dan melengkapi dalam agama Batak. Dalam religi Batak
terdapat 3 “pengantara” antara manusia dengan Debata, yang diturunkan dari ke -3
putra Mulajadi Nabolon, yaitu “Hulahula” dari Batara Guru, “Malim” dari Mangala
Sori, dan “Datu” dari Mangala Bulan. Ke-3 pengantara ini merupakan 3 unsur yang
sangat penting dalam religi Batak, dan ketiganya menyatu dalam kehidupan
religius masyarakat Batak sehari-hari. Ketiga pengantara ini ilmunya mempunyai
sumber yang sama, yaitu Debata Mulajadi Nabolon.

Malaikat iblis, melalui para hambanya, tidak akan merekomendasi orang-orang
yang meminta pertolongan darinya dengan cara -cara yang sesuai dengan keinginan
hati Tuhan Yesus. Karena iblis sangat mengenal siapa Yesus Kristus sebenarnya,
sangat membenci Nama itu, dan sangat berkeinginan agar manusia tidak percaya
kepada Yesus Kristus, satu-satunya TUHAN, Penasehat Ajaib, Tuhan Semesta Alam,
Yang Maha Perkasa. Dengan demikian iblis dapat memperhamba orang tersebut
dan membawanya ke dalam kebinasaan yang abadi di neraka.

A.3. Klaim Iblis

Pengilhaman upacara adat oleh iblis juga dinyatakan secara tegas oleh roh jahat
kepada penulis pada waktu pelayanan pelepasan seorang pemuda bernama
Marbing (samaran) yang terlibat ilmu perdukunan dan kesaktian yang cukup tinggi.
Dia memperoleh aneka kesaktian melalui bimbingan langsung roh jahat yang
berlangsung sejak masa kecilnya, sehingga di dalam dirinya bermukim ribuan roh
jahat. Dalam pelayanan itu berulangkali berbagai jenis roh jahat merasukinya.
Salah satu roh yang berulangkali merasukinya mengeluarkan bunyi seperti
lenguhan seekor babi hutan yang sedang marah (?)

Berbagai dosa pemuda ta di disangkali melalui doa dalam nama Yesus, tetapi roh
jahat itu masih juga dapat merasukinya. Karena diusir di dalam nama Yesus,
akhirnya dengan marah roh jahat itu mengakui bahwa dia masih dapat merasuki
karena adanya ulos Batak di tempat pelayanan itu berlangsung. Pemuda yang
kerasukan tadi membongkar dan mengeluarkan ulos Batak dari lemari. Padahal
pemuda tadi baru sekali itu saja dibawa ke rumah itu dan tidak mengetahui apa isi
lemari itu. Roh itu menegaskan bahwa ulos Batak itu merupakan tenunan yang
menjadi miliknya. Setelah keberadaan ulos itu disangkali, maka barulah roh jahat
itu keluar dari dalam diri si pemuda.

Pada waktu yang lain, suatu roh yang merasuki pemuda itu menegaskan bahwa
dialah yang mengajarkan adat Batak kepada leluhur orang Batak. Dia memberikan
berbagai kesaktian kepada raja-raja orang Batak dahulu (dengan menyebut nama
yang tidak perlu disebutkan di sini).

Melalui hal dan kejadian di atas, TUHAN meneguhkan hati penulis bahwa upacara
adat bukan merupakan tradisi leluhur belaka. Tradisi itu merupakan suatu upacara
agama yang diilhamkan oleh malaikat iblis kepada leluhur orang Batak. Segala ide,
nilai, ajaran, paradigma, dan norma yang ada dalam upacara adat itu
sesungguhnya berasal dari si iblis, dan TUHAN sangat membencinya. Leluhur kita
telah tertipu karena iblis membungkus jeratannya tersebut dengan memberikan
berbagai ajaran kebaikan dunia yang semu, sepertinya baik, tetapi membinasakan.
Inilah salah satu wujud dari yang dikatakan Alkitab: “Ada jalan yang disangka
orang lurus, tetapi ujungnya menuju maut (Amsal 14:12).”

B. Peta Roh Sembahan Leluhur

Upacara adat Batak merupakan upacara religius yang menggambarkan
atau memetakan roh sembahan para leluhur. Peta ini dapat terlihat dalam
struktur masyarakat Batak yang disusun dengan prinsip Dalihan Na Tolu (Toba),
Sangke, yang arti hurufiahnya “tungku yang berkaki tiga”. Prinsip ini membagi
status dan peranan seseorang dalam tiga bahagian, yaitu: Hulahula (pihak pemberi
gadis), Dongan Sabutuha (teman seperut/semarga), dan Boru (pihak penerima
gadis). Pada masyarakat Karo disebut Kalimbubu, Senina, dan Berru. Hubungan
dalam Dalihan Na Tolu ditata dalam suatu falsafah: “Somba marhulahula, elek
marboru, manat mardongan tubu” (Bersembah kepada Hulahula, berhati-hati
kepada teman semarga, membujuk, melindungi, mengayomi Boru).

Melalui ketiga kategori ini, setiap orang yang terlibat dalam upacara adat akan
dipisahkan duduknya (parhundulanna) berdasarkan hubungan kekerabatan (tutur)
antara dia dengan Suhut, yaitu pihak yang mengadakan upacara. Pihak hulahula
duduk dalam suatu kelompok khusus, demikian juga pihak Boru dan Dongan
Sabutuha. Kehadiran mereka dalam upacara itu untuk melaksanakan segala
kewajiban dan menerima segala hak yang telah ditentukan di dalam adat (baca:
aturan hidup agama Batak). Setiap unsur dalam Dalihan Na Tolu memiliki hak dan
kewajiban yang berbeda antara satu dengan lainnya.

Pada tatanan sosial, Dalihan Na Tolu menata hak dan kewajiban antara seseorang
atau sekelompok orang dengan orang atau kelompok lainnya. Setiap orang dalam
masyarakat Batak harus menjalankan perannya sesuai statusnya dalam konteks
upacara adat. Pada suatu upacara dia bisa berperan sebagai Hulahula, sedangkan
pada upacara yang lain bisa berperan sebagai Boru atau Dongan Sabutuha. Setiap
orang Batak akan menduduki ketiga status itu pada saat dan hubungan
kekerabatan yang berlainan. Misalkan si A, terhadap keluarga dari pihak istrinya dia
berstatus Boru, terhadap keluarga dari pihak suami adik/kakak perempuannya
(ito), dia berstatus sebagai Hulahula. Sementara terhadap adik lelaki atau
abangnya dia berstatus sebagai Dongan Sabutuha.

Pada tatanan rohani, Dalihan Na Tolu menggambarkan relasi antara manusia
dengan alam gaib, antara banua tonga dengan banua ginjang. DR.Philip.O.Tobing
dalam bukuny: “The Structure of the Toba Batak Belief in the High God”
(1963:149) menyimpulkan bahwa Batara Guru, Bala (Mangala) Sori, dan Bala
(Mangala) Bulan adalah representasi dari masing-masing Hulahula, Dongan
Sabutuha dan Boru.

Sejalan dengan itu, DR. Annicetus Sinaga, dalam artikelnya pada majalah “Dalihan
Natolu” yang berjudul “Dalihan Na Tolu dijamin oleh Dewata Benua Atas”
menjelaskan bahwa falsafah Dalihan Na Tolu didasarkan pada keyakinan religius
Batak pada masa Hasipelebeguon. Struktur Dalihan Na Tolu menggambarkan
hubungan 3 roh dewa sembahan leluhur yaitu Batara Guru, Mangala Sori (Bala
Sori), dan Mangala Bulan (Bala Bulan). Dengan demikian, Dalihan Na Tolu
merupakan tatanan rohani yang dimulai dari dunia atas (banua ginjang) dan harus
diberlakukan di bumi.

Hulahula merupakan personifikasi dari Batara Guru, Dongan Sabutuha personifikasi
dari Mangala Sori dan Boru merupakan personifikasi dari Mangala Bulan. Struktur
ini merupakan pola yang menata hubungan di dunia atas dan ditetapkan oleh
Mulajadi Nabolon untuk juga diberlakukan di dunia manusia (banua tonga).
Struktur ini dibangun dan dijamin keberadaannya oleh dewa tertinggi Batak, yaitu
Debata Mulajadi Na Bolon. Sehingga struktur itu merupakan kehendak Debata
(malaikat iblis sembahan leluhur Batak) bagi manusia, dalam hal ini bagi orang
Batak.

Pelanggaran struktur ini merupakan pelanggaran terhadap ketetapan Debata
Mulajadi Na Bolon, dan merusakkan keseimbangan antara alam makrokosmos
dengan alam mikrokosmos. Karena itu, pelanggaran ini akan mendapatkan sanksi
dari debata sendiri. Ketakutan akan hukuman Debata Mulajadi Na Bolon ini
tertanam di hati orang Batak sehingga mereka tetap berupaya mempertahankan
keberadaan upacara adat Batak.

Dalam struktur ini, eksistensi roh sembahan leluhur di alam gaib atau banua
ginjang direfleksikan atau dipersonifikasikan di alam fisik (dalam kehidupan
manusia) atau banua tonga di dalam ketiga unsur Dalihan Na Tolu yang
membangun suatu upacara adat, yaitu Hulahula, Dongan Sabutuha, dan Boru.
Kehadiran ketiga roh sembahan lelu hur dalam suatu upacara dinyatakan dalam
kehadiran ketiga unsur Dalihan Na Tolu. Setiap upacara yang dilakukan harus
dihadiri oleh ketiga unsur ini, kalau tidak, maka upacara adat tidak dapat
dilaksanakan. Inilah ketetapan yang telah dibuat oleh Mulajadi Nabolon.

Jadi struktur Dalihan Na Tolu merupakan proyeksi dari eksistensi ketiga dewa
sembahan leluhur Batak yang ada di dunia atas (banua ginjang). Manusia sebagai
pelaku upacara adat adalah sarana yang dijadikan untuk memproyeksikan
eksistensi dan peranan roh sembahannya. Selama upacara adat Batak dilakukan,
ketiga dewa tersebut tetap mendapat tempat untuk diproyeksikan eksistensinya
dalam kehidupan bangsa Batak, sekalipun mereka tercatat sebagai orang yang
beragama Kristen.

Hal ini terjadi karena banyak orang Batak Kristen tidak pernah mengetahui arti
rohani yang sesungguhnya dari struktur Dalihan Na Tolu itu, dan menganggap
Dalihan Na Tolu itu hanya sebagai pengklasifikasian dari status dan peranan sosial
dari anggota masyarakat saja. Kita tidak pernah me nyadari, bahwa melalui struktur
itu iblis memanipulasi diri kita untuk kepentingan dirinya.
Gambar dibawah ini menjelaskan uraian di atas:



Sebuah tungku sering harus diberikan suatu ganjal untuk mengokohkan dan
menahan beban di atasnya. Ganjal itu merupakan unsur yang melengkapi ketiga
unsur Dalihan Na Tolu, dan disebut dengan Sihal-sihal. Pemahaman seperti itu
disebut dalam istilah Batak “Dalihan Na Tolu, paopathon sihal-sihal”. Sihal-sihal
melambangkan Debata Asiasi, yang di dalam religi Batak berperanan sebagai dewa
yang membantu manusia di dalam berhubungan dengan dunia para dewa.
Peranan sihal-sihal diberikan kepada ale -ale (teman sekampung, dongan sahuta).
DR.P.O.Tobing juga menjelaskan bahwa eksistensi keempat dewa Batak
disimbolkan dalam “Suhi Ampang na Opat”, yaitu sebuah bakul yang bersegi
empat, yang dibawa oleh pihak parboru untuk pihak paranak, dalam upacara
pernikahan.



Hadirnya seluruh unsur Dalihan Na Tolu dan sihal-sihal merupakan lambang dari
kehadiran para roh sembahan leluhur dalam acara itu. Jadi setiap orang atau
kelompok yang hadir dalam suatu upacara adat sedang menggambarkan, atau
memetakan eksistensi dari para roh sembahan leluhurnya pada masa penyembahan berhala. Hulahula memetakan eksistensi Batara Guru, Dongan Sabutuha memetakan eksistensi Mangala Sori, dan Boru memetakan eksistensi dari Mangala Bulan. Semuanya memetakan eksistensi dari Mulajadi Nabolon, sebagai dewa tertinggi orang Batak. Peta kemuliaan Mulajadi Nabolon di alam gaib (banua ginjang) dinyatakan dalam ketiga putranya. Peta kemuliaan Mulajadi Nabolon didunia (banua tonga) dipetakan oleh orang-orang yang hadir dalam upacara adat,yaitu seluruh unsur pembentuk Dalihan Na Tolu.

Pada sisi lain, karena setiap orang memiliki ketiga status Dalihan Na Tolu, maka
setiap pelaku upacara adat Batak merupakan “Peta Tiga Roh Sembahan Leluhur”
atau “Peta Mulajadi Nabolon”. Waktu berperan sebagai hulahula dia memetakan
Batara Guru, sebagai Dongan Sabutuha dia memetakan Mangala Sori, dan sebagai
Boru dia memetakan Mangala Bulan. Sehingga sebagai suatu pribadi, dia sedang
memetakan ketiga dewa tadi. Karena itu, setiap pelaku upacara agama Batak
dibentuk secara rohani menjadi “Peta Tiga Dewa Batak” atau “Peta Mulajadi
Nabolon” atau lebih tegas lagi “Peta Iblis”.



Upacara adat merupakan sarana yang diciptakan iblis sebagai jalan masuk untuk
menguasai kehidupan orang Batak.
Upacara adat merupakan landasan atau jalan
masuk yang diciptakan oleh iblis (yang bernama Mulajadi Nabolon dengan tiga roh
pembantunya) untuk secara sah (legitimated) hadir di masyarakat Batak.
Kehadiran seluruh roh sembahan itu sangat penting artinya bagi leluhur Batak,
dalam upaya mendapatkan berkat demi tercapainya segala yang dicita-citakannya,
baik selama hidup di dunia, maupun setelah manusia itu meninggalkan dunia ini.



Mereka menyadari bahwa bantuan para roh sembahan itu sangat penting untuk
mencapai segala tujuan hidupnya. Tanpa bantuan dari roh sembahan itu, sangat
sulit bagi mereka untuk mencapai segala yang dicita-citakannya. Tanpa dukungan
dari kekuatan ketiga roh sembahan itu, maka aktivitas upacara itu tidak
memberikan manfaat apapun bagi pelakunya. Keberhasilan hidup orang Batak
sangat tergantung kepada dukungan kuasa dan berkat dari para roh sembahannya.
Manusia hanya dapat melihat kehadiran dari pelaku upacara adat itu saja,
sementara kehadiran para roh sembahan itu tidak dapat dilihat dengan mata
jasmani.

Kehadiran Batara Guru yang tidak dapat dilihat dinyatakan dengan kehadiran
Hulahula yang dapat dilihat. Demikian juga halnya dengan kehadiran Mangala Sori
dan Mangala Bulan yang tak terlihat dinyatakan dengan kehadiran Dongan
Sabutuha dan Boru. Namun demikian, terlihat atau tidak, disadari ataupun tidak
oleh pelakunya, dengan kehadiran seluruh unsur pelaku dalam upacara adat, maka
jalan masuk bagi kehadiran para roh itu telah dibuka. Kehadiran para roh
sembahan itulah yang akan menentukan kesuksesan suatu upacara adat dan
menjamin perolehan segala keinginan si empunya pesta. Benarlah apa yang
dikatakan oleh seorang ahli etnografi bernama E.M. Loeb (1935) bahwa kebiasaan
adat yang dijumpai pada orang-orang Timur, merupakan “ghost sanctioned
custom” (kebiasaan yang disahkan oleh roh-roh). Adat sebagai rangkuman tradisi
adalah juga penjelmaan hakiki dari agama suku.

Setiap roh sembahan dalam religi atau agama apapun di dunia memiliki syaratsyarat
tersendiri yang ditentukannya bagi kehadiran roh itu ditengah-tengah umatnya. Kehadiran ketiga unsur Dalihan Na Tolu merupakan prasyarat yang dibuat dan ditetapkan oleh iblis bagi kehadirannya dalam kehidupan religius bangsa Batak. Demikian juga, Injil memberitakan kita syarat-syarat khusus, yang berbeda dengan religi lain bagi perkenanan kehadiran TUHAN di dalam hidup umat-Nya.

Tiga roh sembahan Batak yang dipersonifikasikan dalam Dalihan Na Tolu
merupakan putra Mulajadi Na Bolon. Ketiganya merupakan pancaran kemuliaan
dari Mulajadi Nabolon. Karena itu, upacara adat Batak merupakan aktivitas religius
yang dilakukan di dalam dan demi nama Mulajadi Nabolon, debata yang tertinggi.
Karena itu, dalam setiap gondang dan tortor yang dimainkan, hal yang pertama
yang dilakukan adalah menyampaikan (mangalu-aluhon) acara itu kepada Mulajadi
Nabolon melalui pukulan gendang pargonsi. Pukulan gendang itu memiliki irama
khusus dan berbeda dari pukulan gendang lainnya. Gerakan tortor yang
pertamapun ditujukan kepada Mulajadi Nabolon dengan nama gerakan sombasomba.

Karena setiap pihak yang hadir dalam upacara adat menggambarkan eksistensi dari
roh-roh sembahan leluhur, maka acara itu merupakan aktivitas religius yang
membawa nama dan kemuliaan bagi para roh sembahan leluhur. Hulahula
membawa nama Batara Guru, Dongan Sabutuha membawa nama Mangala Sori dan
Boru membawa nama Mangala Bulan. Karena ketiganya merupakan pancaran dari
kemuliaan Mulajadi Nabolon, maka otomatis upacara adat membawa nama dan
kemuliaan bagi dewa tertinggi leluhur Batak, yaitu Debata Mulajadi Nabolon. Tanpa
disadari, pelaku upacara adat merupakan alat Mulajadi Nabolon untuk memuliakan
dirinya.

“Peta Mulajadi Nabolon” juga merupakan tanda rohani yang dibuat oleh iblis bagi
kepemilikannya atas orang Batak dihadapan TUHAN. Tanda itu merupakan stempel
atau meterai kepemilikan iblis atas setiap orang yang melakukan upacara adat.
Peta iblis itu merupakan jalan masuk bagi kehadiran dan pengendaliannya atas
hidup orang Batak. Tanda itu merupakan dasar rohani yang kokoh bagi iblis untuk
mengklaim kepemilikannya atas orang Batak. Karena itu, kehadiran roh sembahan
leluhur dalam hidup setiap orang Batak, merupakan pengambil -alihan posisi TUHAN
dalam hidup manusia. Posisi TUHAN digantikan oleh kehadiran ketiga roh
sembahan leluhur itu. Semuanya terjadi tanpa disadari oleh para leluhur maupun
orang Kristen yang terlibat dalam upacara adat.



Alkitab menegaskan bahwa setiap orang yang percaya kepada Yesus adalah milik
TUHAN. Tanda meterai kepemilikan Tuhan diberikan dalam bentuk kehadiran Roh
Kudus di dalam hatinya.
”Di dalam Dia (Yesus) kamu juga, karena kamu telah mendengar firman
kebenaran, yaitu Injil keselamatanmu – di dalam Dia kamu juga, ketika
kamu percaya, dimeteraikan dengan Roh Kudus, yang dijanjikan-Nya
itu. Dan Roh Kudus itu adalah jaminan bagian kita sampai kita
memperoleh seluruhnya, yaitu penebusan yang menjadikan kita milik
Tuhan, untuk memuji kemuliaan-Nya”. (Efesus 1:13)
tanpa disadari, keterlibatan seseorang Kristen dalam upacara adat akan membuka
ruang di hatinya bagi kehadiran para roh sembahan leluhur dahulu kala.
Penerimaan akan kehadiran roh sembahan leluhur akan membuat Roh Kudus
mengundurkan diri dari dalam hidup orang itu. Roh Kudus adalah roh yang lemah
lembut yang tidak pernah mau memaksakan kehadiran dan keinginannya kepada
manusia. Roh Kudus juga amat peka akan kekerasan hati manusia untuk tetap
menerima kehadiran roh-roh lain di luar diri-Nya. Dia tidak pernah mau menerima
sikap hati yang menduakan Tuhan di hati manusia. Kalau manusia bersikeras untuk
melakukannya juga, walaupun sudah diperingatkan-Nya, maka Ia segera akan
mengundurkan diri secara diam-diam, sama seperti kemuliaan TUHAN yang
meninggalkan bait TUHAN di Yerusalem.

Kehadiran roh sembahan leluhur itulah yang akan mendorong seseorang dari dalam
hatinya untuk kembali dan terus melakukan berbagai upacara adat lainnya. Dengan
demikian terjadi penguatan ikatan rohani dengan roh itu. Penguatan ini akan
menjadi suatu belenggu kuat iblis untuk mengendalikan pribadi dan tingkah laku
orang Batak. Sehingga orang itu akan menjadi seseorang yang sangat memegang
kuat adat Batak, dan sangat sulit bagi dia untuk keluar dari paradigma adat itu.
Hanya kuasa anugerah Yesus yang mampu melepaskannya. Belenggu yang kuat
inilah yang merupakan salah satu bentuk pertahanan iblis untuk mempertahankan
“tahta kemuliaannya” di tengah-tengah bangsa Batak.

Kehadiran roh inilah yang akan membuat seseorang akan menjadi marah dan kalap
ketika masalah upacara adat ini dibukakan. Tingkah laku dan ucapannya segera
akan menjadi tidak terkontrol. Dari mulutnya akan keluar kalimat-kalimat yang
memaki, menghina, mengutuk, kasar, dan kotor yang tidak sepatutnya diucapkan
oleh seorang Kristen. Kebencian orang itu akan menjadi sangat besar terhadap
orang yang membukakan masalah upacara adat berdasarkan Injil Kristus yang
murni. Mereka akan sangat marah dan dibenci terhadap orang-orang yang tidak
mau lagi melakukan upacara adat.

Pengalaman penulis dan rekan-rekan yang berkomitmen kepada TUHAN untuk
keluar dari upacara adat Batak menunjukkan betapa gampangnya orang-orang
Batak yang terikat kuat dengan Mulajadi Nabolon menjadi marah, kalap dan
mengucapkan kalimat kotor, ketika Firman Tuhan dibukakan yang berkaitan
dengan adat Batak. Kemarahan itu berasal dari kemarahan roh yang ada di dalam
dirinya yang rahasianya diungkapkan, kemudian memanfaatkan pribadi orang yang
diikatnya itu untuk menyerang setiap musuhnya. Pikiran dan emosi orang itu telah
dirasuki oleh roh-roh jahat sembahan leluhur, pemberi ilham adat Batak.

Dalam pernikahan, berapa banyak orang tua Batak yang mengeraskan hati untuk
tidak hadir dalam pernikahan anaknya, karena tidak dilangsungkan upacara agama
Batak. Kasih mereka akan Tuhan dan anaknya segera sirna, ketika adat itu
diabaikan. Mereka mengabaikan tanggung jawab sebagai orang tua dihadapan
Tuhan untuk membawa anak mereka ke hadapan Tuhan dan menjadi saksi
pernikahan kudus itu. Tuhan tidak pernah menyuruh orang tua untuk menikahkan
anaknya dengan cara lain di luar Firman-Nya, apalagi dengan upacara agama
sembahan leluhur Batak. Mereka lebih mencintai adat Batak jauh melebihi Yesus
Kristus. Padahal mereka tahu hukum Tuhan yang terutama:
“Kasihilah Tuhan, Bapamu, dengan segenap hatimu, dan dengan segenap
jiwamu, dan dengan segenap akal budimu”. (Matius 22:37)
Seorang Ibu menceritakan pengalamannya ketika seorang anak kakaknya
meninggal dunia. Karena mau mentaati Firman Tuhan, dia dan keluarga
kakaknya itu bersepakat untuk tidak menguburkan anaknya tadi secara
adat, cukup dengan upacara gereja. Ibu itu merupakan seorang penatua
dari salah sebuah gereja Batak yang masih melakukan sinkretisasi agama
Batak dengan Injil. Akibatnya, kaum keluarga mereka yang ada di
kampung itu menjadi marah, dan tidak mau ambil bagian dalam
penguburan. Beberapa orang ada yang melempari rumah keluarga yang
kemalangan itu dengan batu. Bahkan ibu itu dan seorang anggota
keluarganya terpaksa harus meninggalkan kampung itu setelah
penguburan, karena mendapatkan informasi ada orang (masih famili
mereka) yang telah bersiap-siap untuk membunuh mereka. Tingkah laku
mereka menjadi sama dengan sifat roh setan, yang menjadi sembahan
leluhur itu. Karena saat itu, mereka telah dirasuki oleh Mulajadi Nabolon.

Hal itu sangat tidak wajar, karena iblis sangat tidak ingin rahasianya dibongkar oleh
Firman Tuhan. Iblis tidak rela tahta persembunyiannya dalam kehidupan orang
Batak terbongkar. Dia akan mempertahankan tahta itu dengan sekuat tenaganya.
Siapapun yang dikuasainya akan dimanfaatkan untuk menakut-nakuti,
mengancam, memaksa dan bahkan mungkin untuk membunuh siapapun yang
membuka rahasia persembunyiannya.

bersambung.........

3 komentar:

Ronald mengatakan...

Saya bukanlah seseorang yang ahli dalam Alkitab ataupun masalah adat istiadat batak.

Namun ada suatu hal yang ada di benak saya sebagai seorang batak kristen:

"Jika aku dipanggil dan bertemu Tuhan Yesus suatu hari nanti, apakah yang ditanyakan-NYA kepada ku ?"

akankah Yesus akan bertanya kepada ku: "Apakah yang sudah kau lakukan untuk marga mu dan adat istiadat batak selama kau ada di dunia ?"

atau Dia akan bertanya kepada ku: "Apakah yang sudah kau lakukan untuk AKU selama kau di dunia ?"

Anonim mengatakan...

Luar biasa penjelasanya tentang pemahaman, adat batak, alkitabiah, serta pendapat pendapat yang lain yang skeptis sama adat batak (tidak pernah datang ke pesta batak) saya coba berikan pendapat saya..

Ada beberapa yang perlu disikapi :
1. Referensi yang di ambil untuk menguatkan ke "IBLISAN" Dalihan Natolu dan SIHI NI APPANG NAOPAT" yang anda jelaskan pula hanya sebuah turi-turian (dongeng).
Turiturian (darireferensi anda..) tidak akan ada orang percaya bahwa itu harus ditiru dan dilakukan bahkan dimaknai.

2. Pemaknaan dari semua ritual dan prosesi paradaton (dalihan natolu)
saya memaknai ini bukan dengan dongeng diatas, tapi salah satu bentuk sosialisasi yang terintegrasi dalam sebuah bentuk perilaku yang tersirat dan dianjurkan dalam alkitabiah, yang diharuskan untuk menghormati dan mengasisi sesama apalagi saudara...(Efesus 10:6).
3. Kesimpulan dari tulisan ini... CILAKA "semua orang Batak telah Sesat termasuk penulisnya.. hehhehe
Begitu saya dibortian sama dengan Lae..sudah prosesi adat.. sampai nanti kita Mati.

4.Maradat
Mungkin kita sudah mengalami prosesi adat yang pernah kita hadiri...di tempat perantauan ini contoh, perkawinan. Dalam pelaksanaanya, dimulai dari sibuha-buhai..doa(penyerahan untuk penyertaan Tuhan)diberkati di Greja, lanjut dengan kegiatan adat lagilagi diawali doa, nasehat ke pengantin maupun hata-hata yang disampaikan dongan tubu, hula-hula,tulang semua kata-kata alkitabiah...jadi saya bingung...apa yang salah dalam hal ini... Jadi walaupun ada latar Belakang Pemaknaan adat seperti yang lar tulis jadi ritual penyembahan SIBOLIS berupa dewa-dewa, makna itu di zaman sekarang tidak relefan karena hanya sebuah DONGENG. Kita bersyukur, dulu Nomensen dapat memerangi hasipelebeguon dari tana Batak.

BATIK MANNA SARI mengatakan...

Selama ada Jabatan dalihan naTOLU di prosesi adat Batak, Selama itu adat Batak menjadi Kebencian Yesus karena . Hula2 Membuat dirinya menjadi saingan Yesus dalam memberi berkat, dan merampas Kemuliaan Yesus untuk di sembah.

Jadi Hilangkan dulu Jabatan Dalihan Natolu, Gantikan dengan Jabatan Trinitas. Baru Pas.

Adatnya Jalan Terus, tetapi PEJABATNYA HARUS segera di ganti, dan dilupakan. Pasti senua beresssss.

Horas

 
TOGA LAUT PARDEDE | © 2010 by DheTemplate.com | Supported by Promotions And Coupons Shopping & WordPress Theme 2 Blog