Rabu, 07 November 2012

0
Panggilan “AMPARA” dan penempatannya

 Appara/Ampara adalah istilah yang digunakan bagi orang Batak, yang menunjukkan adanya hubungan yang dekat antara satu pihak dengan pihak lain di dalam orang Batak. Appara memiliki makna dalam istilah Batak ialah ‘Dongan Tubu’, jadi kata ‘Appara/Ampara’ digunakan bagi orang Batak yang memiliki marga yang sama, contohnya ; ketika si A yang bermarga Siadari bertemu dengan si B yang bermarga Siadari yang bertemu di perantauan misalnya dan belum diketahui sama sekali silsilah antara si A dengan si B sehingga mereka memanggil ‘Appara/Ampara’. Namun setelah mereka saling martarombo dan akhirnya diketahui setelah mereka martarombo bahwa misalnya si A adalah adalah adik dari si B, atau si B adalah Amanguda si B atau bahkan bisa saja si A adalah opung dari si B walaupun usia antara si A dan si B tidak terpaut terlalu jauh.

Namun istilah Apara/Ampara bisa digunakan bagi lain marga namun satu pomparan dongan tubu, misalnya ; si C yang bermarga Sitio bertemu dengan si D yang bermarga Sidabutar. Akan tetapi istilah Appara/Ampara sebenarnya lebih tepat digunakan hanya pada sesame marga, seperti contoh yang pertama di atas tadi. Di dalam contoh yang kedua di atas tadi sudah jelas bahwa Sidabutar merupakan abang dari Sitio, dan Sitio adalah anggi partubu ni Sidabutar jadi kurang tepat dan salah penempatan apabila Sitio memanggil Sidabutar dengan sebutan Appara, begitu juga sebaliknya.Istilah Appara digunakan bagi sesama marga yang saling bertemu dimana mereka belumlah saling mengenal dan tidak mengetahui partuturan antara satu dengan yang lainnya sesama marga mereka.
Banyak orang Batak menggunakan kata Appara bukan hanya kepada sesama marga namun ke marga yang masih dongan tubu mereka. Terkadang mereka menggunakan istilah Appara/Ampara kepada marga lain tetapi masih dongan tubu karena factor umur, contohnya ; si E yang bermarga Napitu bertemu dengan si F yang bermarga Siallagan, si E berusia 25 tahun dan si F berusia 21 tahun,si E mengetahui bahwa si F adalah abangnya namun karena usia si F terpaut 4 tahun lebih muda dari si E, akhirnya si E memanggil Appara, begitu juga sebaliknya, karena si F tahu si E adiknya maka si F memanggil Appara kepada si E. Sesungguhnya tidak ada yang salah dari pemanggilan diatas, namun alangkah baiknya bila si E tidak segan atau sungkan memanggil si F dengan panggilan abang, bila malu si E bisa memanggil namanya saja, atau Appara si Doli. Begitu juga dengan si F, lebih baik dan berharga bila memanggil si E Anggia atau Amanguda, Amanguda disini bukan berarti bahwa dia adalah adik dari bapa kita, tetapi sebagai bentuk penghormatan karena usianya lebih tua dari kita.
Ada juga bahkan marga yang harusnya dipanggil abang memanggil abang kepada marga yang menjadi adiknya karena usia tadi dan juga karena rasa tidak enak memanggil nama atau anggia atau memangil adik. Contohnya : si G yang bermarga Sidabalok yang berusia 22 tahun memanggil abang ke si H yang bermarga Rumahorbo yang berusia 28 tahun. Justru ini akan membuat ketika mereka sudah saling berumah tangga akan terus berlanjut karena terbiasa, dan si G memanggil istri dari si H kakak,padahal istri si H adalah anggi borunya yang harusnya si G memangil ‘inang’ kepada istri si H. Seharusnya rasa tidak enak, rasa sungkan itu bisa diganti daripada memanggil abang menjadi memanggil amanguda, namun ke istrinya tetaplah inang, atau ketika sudah berumah tangga bila si H sudah memilik anak si G bisa memanggil si H ‘Ama ni Z atau Ama ni …. (nama anaknya)’, seperti itu lebih baik dan sangat baik. Hal tersebut sangat sering terjadi di marga yang lain bukan hanya di Pomparan Raja Nai Ambaton, hal tersebut terjadi karena rasa tidak enak, sungkan, tidak adanya pengetahuan dari orang tua, juga dari pribadi masing-masing individu yang memang kurang begitu peduli akan hal-hal yang kecil. Terutama bagi Parna, yang merupakan marga terbanyak di suku Batak, yang hamper ± 70 marga, walaupun memang ada beberapa versi dari masing-masing marga Parna karena masalah siakkangan dan sianggian, namun itu hanyalah sebagian kecil saja, namun di Si Opat Ama, di Ompu Tuan Binur misalnya sudah jelas siapa siabangan dan sianggian sehingga baiknya istilah diatas bisa diterapkan, sehingga adat istiadat, budaya, sejarah, silsilah dan semua yang berkaitan tentang Batak tidaklah hilang begitu saja sehingga dapat ditanamkan pada generasi muda yang kedepannya akan lebih peduli dan bangga akan identitasnya sebagai orang Batak.
sumber: http://rajatambatua.wordpress.com

0
Pemandian Keramat Si Raja Batak



Batu Cawan, demikian pemandian itu disebut. Batu Cawan termasuk satu dari sekian banyak situs di Gunung Pusuk Buhit yang sangat dikeramatkan oleh orang Batak (Toba). Disebut Batu Cawan, karena memang bentuknya mirip cawan (mangkuk). Letaknya persis di salah satu lereng gunung api sisa letusan Gunung Toba ini. Jaraknya 3 km dari pintu masuk dari Desa Limbong. Untuk sampai kesana, sedikitnya dibutuhkan waktu sekitar dua jam berjalan kaki. Rute yang dilewati pun cukup terjal karena jalanan yang berbatu dan menanjak. Barulah, kira-kira setengah perjalanan, akan dijumpai tangga-tangga pendakian hingga sampai ke Batu Cawan.
Konon Batu Cawan dulunya merupakan tempat mandi Si Raja Batak, yang menurut keyakinan lokal masyarakat Batak (Toba), berdiam di Pusuk Buhit. Kebetulan di sekitar Batu Cawan, banyak dijumpai sisa-sisa sesajen bekas orang yang menjalani ritual sebelum-sebelumnya. Hal itu menandakan bahwa tempat ini, termasuk rutin dikunjungi penziarah. Apalagi tempat ini dijaga oleh salah seorang penduduk lokal bermarga Limbong yang dengan setia memandu penziarah.
Memang di sekitar Batu Cawan didirikan semacam altar dari keramik, tempat meletakkan kurban. Di situlah biasanya penziarah meletakkan kurban yang dibawanya. Umumnya berupa sirih, jeruk purut, telur ayam kampung, rokok, buah-buahan dan ada juga yang membawa ayam bahkan kambing untuk kemudian dilepaskan di sana. Akibatnya tempat ini terasa begitu mistis.

Sedangkan di Batu Cawan sendiri, yakni kolam pemandian Sang Raja tampak jernih. Dasar kolam sendiri kelihatan sangat jelas, berupa batu-batu. Penulis menaksir cerukan terdalam dasar kolam, kira-kira 1,5 meter dengan diameter sekitar 3 meter. Ada tradisi yang unik ketika hendak meminum airnya. Seseorang harus langsung meminum tanpa menggunakan media bantu seperti cangkir maupun tangan. Caranya langsung menundukkan kepala sampai mulut menyentuh permukaan air. Setelah meminum airnya, barulah orang tersebut boleh mencuci muka, membasahi rambut atau membawa air itu untuk dibawa pulang. Posisi minum yang demikian tentu sangat berisiko. Karena posisi bibir kolam, tempat pengunjung harus berjongkok untuk minum, langsung berbatasan dengan jurang di bawahnya yang sedalam puluhan meter. Begitu mahalkah harga sebuah keyakinan? Jawabannya tentu tergantung pribadi masing-masing orang.

Air di Batu Cawan ini memang unik. Permukaannya berwarna hijau kekuningan serta tampak berminyak. Tetapi ketika diambil, sama sekali tidak ada minyak di atas air itu. Rasanya pun masam persis air perasan jeruk purut. Padahal tidak ada sebiji pun juruk purut di kolam itu. Airnya bersumber dari air terjun kecil yang berasal dari himpitan tebing batu setinggi kira-kira 6 meter. Di atas tebing itu tampak tumbuh-tumbuhan perdu dan beberapa pohon besar. Jadilah pemandian ini seperti telaga, layaknya tempat dewa-dewi mandi, seperti yang sering kita baca dalam dongeng-dongeng.

Meski berupa cerukan, air ini selalu berganti, karena ia mengalir ke jurang di bawahnya. Nah, air yang mengalir ke jurang itulah yang boleh dimandikan pengunjung. Apalagi di tempat itu sudah dibangun pula bak-bak pemandian lengkap dengan ruang ganti dan toilet. Di sekitar itulah pula, penulis menemukan banyak sekali jeruk purut yang memenuhi sepanjang aliran air.

0
PUSUK BUHIT Bermula Budaya Batak

Pusuk Buhit


Pusuk Buhit adalah satu tempat di kabupaten Tapanuli Utara yang tadinya satu kesatuan dengan pulau Samosir. Namun untuk mempermudah transportasi air, pemerintah kolonial Belanda membangun kanal, yang kini dinamakan Tano Ponggol.
Di kaki Pusuk Buhit sebelah timur terdapat mata air panas yang merasa asam dan belerang.
Daerah yang dihuni berbagai masyarakat ini, kita dapat menemukan peninggalan Batak Purbakala. Desa sebelah Timur adalah Siogungogung, banyak dihuni oleh marga keturunan Naiabbaton yaitu Sitanggang, Naibaho dan Simbolon. Tenggara Tanjung Bunga, banyak dihuni oleh marga Sitanggang dan Naibaho.Selatan Negeri boho, banyak dihuni olehLimbong, Sihole, Situmorang dan Sinaga. Barat Negeri-Limbong banyak dihuni oleh Limbong Sihole, dan Barat Laut Negeri sagala, banyak dihuni oleh sagala dan Siboro.
Pada pertengahan Pusuk Buhit ada dua bagian, sebelah Barat desa Huta Pariksabungan adalah desa op.Guru Tateabulan dengan berbagai peninggalan. Sebelah Barat adalah:
1. Batu Hobon
2. Batu Pargasipan
3. Sianjur Mulamula Sianjur Mulajadi / desa op.Siraja Batak
4. Aek Sipaulak Hosa / aek ni op.Raja Batak
5. Mual Siboru Pareme
 

6. Aek Sipitu Dai
7. Batu Nanggarjati / pertukangan Sariburaja
8. Harian Lontung / pohon Hariara pertanda perdamaian antara keturunan Lontung dengan keturunan op.Guru Tateabulan dan Sorimangaraja / awal hoda Somba ke op.Raja Uti / awal Dalihan na Tolu. Sebelah Timur adalah: 
1. Huta Sijambur
2. Batu Guru / pertanda Batara Guru

3 Batu Sori / pertanda Debata Sori
4 Batu Hoda / pertanda Balabulan / lokasinya didalam danau / kelihatanbilaair surut
5.Batu Siungkapon / penutup lubang raja Padoha ke banuatoru / lokasitanoponggol
6.Batu Siogungogung / penyimpanan pusaka raja Naisumbaon
7.Aek Parsuangan / aek ni raja naisumbaon
8.Huta Jabu Hela / desa Sorimangaraja dan anak anaknya: Naiambaton
Nairasaon dan Naisuanon
Di huta Pariksabungan sebagai desa op.Guru Tateabulan juga dapat kita temukan: losung, batu partonggoan, liang Raja Uti., Tala Pusuk Buhit / tempat semedi op.Raja Batak dan anak anaknya bersatu dengan Debata Mulajadi Nabolon, aek Malum.
Di huta Pariksabungan inilah kelahiran ke lima anak dan lima putri op.Gurutateabulan: Op.Raja Uti, Sariburaja, Limbong Mulana, sagala Raja dan Silauraja. Sedangkan kelima putrinya: Siboru Biding Laut yang menikah dengan Tuan Sorimangaraja, Siboru Pareme yang menikah dengan saudaranya Sariburaja, Siboru Anting sabungan menikah menggantikan kakaknya yang meninggal ke Tuan Sorimangaraja, Siboru Punggahaomason dan Nantinjo / keramat Danau Toba.
Di huta Sijambur / desa raja Naisumbaon dan anaknya Tuan Sorimangaraja, dapat juga kita temukan: batu paluon ogung, batu Sarune, batu gordang, batu taganing.
 
TOGA LAUT PARDEDE | © 2010 by DheTemplate.com | Supported by Promotions And Coupons Shopping & WordPress Theme 2 Blog