Kamis, 17 Maret 2011

0
Gaja Dompak symbol kekuasaan Raja Sisingamangaraja.!



MANGHUNTAL SINAMBELA.

Munculnya cerita-cerita tentang raja ini bukan tanpa sebab. Bila merunut pada silsilahnya dari marga Sinambela, adalah tidak mungkin dia diakui sebagai raja. Hal ini terutama karena hingga kini, sahala sihahaan (hak anak sulung) masih kental dalam masyarakat Batak. Sementara clan Sinambela adalah turunan bungsu, (anak ke 4) dari turunan Tuan Sorba Dibanua. Bila mengacu pada silsilah tersebut, munculnya Manghuntal sebagai raja, memang satu hal yang mencengangkan. Pasti ada sesuatu yang istimewa atas pemuda yang satu ini, sehingga dia diakui sebagai raja. Dari sinilah cerita tentang Manghuntal Sinambela dimulai Adniel Lumbantobing Adniel Lumbantobing sendiri, penulis pertama yang menulis riwayat raja ini, dalam awal tulisannya, merasa perlu memohon maaf dan mengucapkan sejumlah mantra yang bertujuan agar dia tidak dapat kutukan dari sahala raja tersebut. Dan bila memperhatikan pengucapan tonggo-tonggo (mantra) pada awal tulisannya, seolah ada rasa takut dalam dirinya, bila menuliskan sesuatu yang tidak benar mengenai raja tersebut.
Setelah kata-kata mantra, cerita dilanjutkan sekitar kelahiran sang raja. Dimulai dengan kehamilan ibundanya yang sudah lama ditinggal pergi oleh suaminya Raja Bona ni Onan, tanpa diberi nafkah lahir maupun bathin. “Suatu ketika, setelah lelah bekerja di sawah”, demikian menurut Adniel Tobing, “ibu yang malang ini pergi mandi ke sebuah sungai di tengah hutan (harangan sulu-sulu). Dari tempat inilah kehamilannya berawal, konon, tanpa melakukan hubungan badan dengan seorang lelaki”.
Cerita berlanjut dengan masa kehamilan yang sampai mencapai 17 bulan, menyebabkan banyak orang terheran-heran. Begitu pula ketika si anak lahir, telah mempunyai gigi yang lengkap dan, konon, lidahnya berbulu. Selain itu, pada masa kanak-kanaknya, beliau telah banyak melakukan hal-hal yang menakjubkan, termasuk berbagai mukjizat. Hal-hal seperti itu banyak diceriterakan dalam buku tersebut. Dan aneh memang, diantara sejumlah buku karya penulis orang Batak, buku ini mempunyai rekord tersendiri sebagai buku yang paling banyak di cetak ulang. Banyak buku yang diterbitkan tentang raja ini, mulai dari yang ditulis oleh A. Sibarani, atau H. Moh. Said atau O. L. Napitupulu dan bahkan oleh Prof. DR. W.B Sijabat, diterbitkan hanya sekali dan sesudah itu dilupakan orang.
Akan tetapi diantara seluruh tulisan yang saya baca, tidak satupun yang menulis, tentang siapa sebenarnya Manghuntal dan bagaimana sepak terjangnya hingga diakui sebagai raja. Tulisan singkat ini memuat hal itu, karena kemunculannya sebagai raja membawa akibat yang sangat parah bagi penduduk di Tanah Batak Utara, yaitu perang dengan pasukan Paderi yang dipimpin seorang kerabatnya bernama Pongki Nangolngolan.
Sebelum menjadi raja Batak, dia bernama kecil Manghuntal bermarga Sinambela. Pada masa remajanya, dia telah menunjukkan bakat-bakat kepemimpinan yang luar biasa. Di samping pintar berbicara, dia juga adalah seorang pemberani. Pada masa remajanya, Balige adalah pusat negeri Toba. Pada waktu-waktu yang sebelumnya disepakati, di tempat ini berkumpul para “raja” dari seluruh wilayah tetangga dimana mereka membicarakan banyak hal. Pada waktu mereka berkumpul, banyak pedagang yang datang kesana, menjual barang-barang kebutuhan sehari-hari. Balige yang juga berfungsi sebagai kota pelabuhan menjadi sangat ramai.
Akan tetapi, sering terjadi, ketika para pedagang melakukan perjalanan ke Balige, banyak di antara pedagang ini tidak sampai di tempat. Kalaupun mereka sampai, perahu yang mereka tumpangi sudah kosong karena dibajak di tengah danau oleh sekelompok orang dibawah pimpinan Togar Natigor gelar Porhas, yang menjadi pemimpin “bajak danau” di perairan Balige. Dia adalah manusia yang paling ditakuti karena kemampuannya menyerang lawan dengan tiba-tiba. Si korban dapat kehilangan nyawa tanpa menyadari apa yang terjadi pada dirinya. Hal inilah penyebab mengapa orang yang mati tiba-tiba, dikatakan di soro porhas (direnggut porhas) suatu perumpamaan yang mengisi perbendaharan bahasa Batak.
Ulah Porhas ini sangat mengganggu wibawa keturunan Sibagot Nipohan, yang pada masa itu telah diakui sebagai penguasa di Onan Raja Balige. Berkali-kali mereka mendatangi Porhas di Muara dan meminta agar dia tidak mengulangi perbuatannya, akan tetapi dia tidak pernah ambil pusing. Celakanya lagi, mereka balik di ancam untuk tidak campur tangan. Karena ulah Porhas tersebut, keturunan Sibagot Nipohan berupaya untuk menghimpun saudara-saudara mereka dari keturunan Sorba Dibanua. Mereka yakin bahwa, kalau mereka bersatu, Porhas akan dapat ditaklukkan.
Untuk maksud tersebut, pertama-tama mereka mendatangi keturunan Paittua di Laguboti. Walaupun merasa prihatin dengan apa yang terjadi, keturunan Paittua menjawab, “Semuanya bergantung pada saudara yang lain. Kalau mereka sepakat, kami juga akan sepakat.” Demikian kata turunan Paittua. Akan tetapi, sebagaimana ternyata kemudian, keturunan Paittua tidak pernah muncul di Balige sehingga mereka dikatakan sebagai orang na paet lagu. Inilah awal dari nama Paittua berubah menjadi Paettua atau Sipaettua dan nama kampungnya diberi nama lagu-lagu boti (Laguboti).
Jawaban yang sama diterima pada waktu keturunan Sibagot Nipohan mengunjungi turunan Sabungan di Silalahi Nabolak. Karena tidak menerima jawaban yang memuaskan, seorang keturunan Sabungan yang ditemukan sedang menggembala dibujuk dan dinaikkan ke perahu. Anak ini kemudian dibawa ke tempat turunan Oloan di Siogung-ogung .
Melihat anak remaja tersebut yang dikenal sebagai keturunan Sabungan, keturunan Oloan menyambut mereka dengan hangat dan yakin bahwa saudaranya dari turunan Sabungan akan hadir. Rasa rindu karena sudah lama berpisah menyebabkan mereka menyambut tamunya dengan rasa gembira.
Tiba hari yang telah ditentukan, keturunan Oloan hadir di Onan Raja Balige. Mereka disambut lebih hangat lagi. Walau mereka merasa tidak enak karena ketidakhadiran saudara-saudara mereka yang lainketurunan Paittua dan keturunan Sabunganpenyambutan yang begitu luar biasa menyebabkan mereka sungkan untuk mundur. Pada acara marsisungkunan (mempertanyakan maksud pertemuan), keturunan Sibagot Nipohan mengutarakan ancaman yang dilakukan Porhas Siregar. Keturunan Sibagot Nipohan mengusulkan agar mereka secara bersama-sama menghadapi ancaman ini.
Turunan Oloan merasa serba salah. Memberikan jawaban “ya” tidak mungkin, karena mereka telah terikat sumpah untuk tidak mencampuri urusan Sibagot Nipohan. (baca: hal 87 pen.) Memberikan jawaban “tidak” juga tidak mungkin karena sambutan yang begitu bersahabat. Karena itu, untuk menolak, secara halus mereka mengajukan syarat yang, menurut mereka, tidak mungkin akan dipenuhi. Syarat tersebut ialah bahwa, kalau Porhas takluk mereka diakui sebagai raja.
Mengherankan, walaupun syarat itu bertentangan dengan adat kekeluargaan orang Batak ( dan hal itu sengaja dikemukakan dengan maksud agar ditolak) semua turunan Sibagot Nipohan menyatakan persetujuannya. Turunan Oloan menjadi serba salah. Akhirnya diperoleh kesepakatan bahwa, apabila Porhas dapat ditaklukkan, walaupun keturunan Oloan adalah anggi di partubu, hak sebagai raja (haha di harajaon) akan diberikan kepada mereka, yang menurut adat Batak sangat tidak lazim.
Jalan untuk mundur bagi keturunan Siraja Oloan pun sudah tidak ada lagi. Waktu mereka pulang, hal itu menjadi bahan pembicaraan. Baho, keturunan sulung dari Oloan, berbicara kepada adik-adiknya dengan berandai-andai: Sekiranya Porhas dapat ditaklukkan, siapakah yang menjadi Raja? Mereka serempak menjawab, “Ba ho Raja” (“Silakan, engkau menjadi raja”). Inilah awal dari nenek moyang marga Naibaho, sebagai keturunan sulung, diberi gelar Baho Raja.
Tiba waktu yang sudah disepakati, keturunan Oloan, dengan sejumlah perahu dan sampan, melancarkan penyerangan ke Muara. Penyerangan tersebut dilakukan keturunan Oloan dari arah Nainggolan, sedangkan keturunan Sibagot Nipohan melakukan penyerangan dari arah Balige. Menghadapi serangan dari dua arah, pasukan Porhas akhirnya kewalahan. Mereka mundur ke Muara dengan maksud melakukan perlawanan di darat. Sesampai di darat, Manghuntal bersama beberapa pengawalnya telah menunggu sambil bersila di tengah halaman. Porhas sangat terkejut karena tidak menduga Manghuntal sudah ada di sana.
Manghuntal mempersilakan Porhas duduk di atas tikar yang sudah digelar. Pasukan Oloan dan Sibagot Nipohan yang mengejar dari danau juga tidak percaya. Mereka menunggu apa yang bakal terjadi. Ternyata Manghuntal dan Porhas melakukan perundingan. Lewat perundingan, akhirnya dicapai kesepakatan: Mereka berdua, Porhas dan Manghuntal, akan bertarung sampai titik darah penghabisan. Apabila salah satu kalah, pasukannya dipersilakan untuk meninggalkan tempat dan tidak seorang pun boleh dilukai. Porhas menerima tantangan ini dan yakin akan memenangkan pertarungan dengan mudah, apalagi, orang yang dihadapi adalah pemuda yang masih bau kencur.
Pertarungan pun dimulai dengan disaksikan pasukan kedua belah pihak. Kedua petarung itu dengan kepintarannya masing-masing beradu kuat. Pertarungan kedua jagoan berlangsung lama, akan tetapi karena masih muda Manghuntal menang tenaga. Walaupun Porhas menang pengalaman, sepertinya tidak ada artinya berhadapan dengan Manghuntal yang masih muda. Porhas akhirnya tewas lebih banyak karena kehabisan tenaga.
Melihat kenyataan ini, nyali pasukan Porhas pun ciut. Mereka menyerah, lalu seluruhnya digiring ke sebuah tempat, yang sekarang dikenal dengan nama Lobu Siregar. Dari tempat ini kemudian mereka diusir, tanpa bekal.
Mereka hidup menggelandang. Semula mereka menuju Humbang akan tetapi disana mereka dihadang oleh marga Sihombing. Begitu pula waktu mereka menuju Pahae dihadang oleh marga Sitompul. Dalam perjalanan yang memakan waktu yang lama sebelum tiba di Sipirok yang waktu itu merupakan tanah kosong tidak berpenghuni, kadang kala mereka hanya memakan umbi alang-alang (ri) atau daun pakis (pahu). Sebagai peringatan akan penderitaan yang mereka alami, anak-anak yang lahir dalam perjalanan dinamakan Siregar Ri dan Siregar Pahu.
Penderitaan inilah yang mengakibatkan mereka menaruh dendam terhadap keturunan Sorba Dibanua. Kemudian hari, kesempatan untuk membalaskan dendam muncul, pada waktu pasukan Tuanku Rao datang ke Mandailing. Pasukan dipimpin seorang kerabat dekat R. Si Singamangaraja bernama Pokki Nangolngolan yang juga mempunyai dendam dengan penduduk di Tanah Batak Utara.
Sementara itu, Baho, si anak sulung, menuntut turunan Sibagot Nipohan untuk memenuhi kesepakatan. Turunan Sibagot Nipohan tahu persis bahwa orang yang mempunyai banyak andil dalam perang tersebut adalah Manghuntal. Sibagot Nipohan sepertinya tidak rela apabila hak raja yang mereka sandang berpindah tangan kepada Baho. Karena itu, keturunan Sibagot Nipohan berkelit dengan alasan bahwa, sesuai dengan pesan leluhur mereka yang juga merupakan leluhur OloanTuan Sori Mangarajahak sebagai raja hanya dapat diberikan kepada siapa pun yang dapat mengembalikan barang pusaka leluhur mereka yang sudah lama hilang.(baca: hal 68 pen). Diingatkan dengan pesan leluhur ini, Baho pun terdiam dan sebaliknya pula turunan Sibagot Nipohan merasa nyaman karena hak sebagai raja ijolo tidak berpindah tangan.
Akan tetapi tidak demikian bagi Manghuntal. Alasan tersebut baginya seperti alasan yang dicari-cari. Benar fatwa itu ada, akan tetapi mengapa hal itu tidak dikemukakan waktu mereka bersepakat ? Karena itu dia bertekad untuk mencari barang pusaka tersebut dan akan mengembalikannya kepada yang berhak. Dalam pencarian barang pusaka inilah kembali Manghuntal memegang peranan, yang menyebabkan dirinya mau tidak mau harus diakui sebagai raja. Dia melakukan petualangan ke Barus dimana dia bertemu dengan keturunan Raja Uti. Dalam menghadapi pemuda pintar dan digdaya ini, tidak ada jalan bagi keturunan Raja Uti selain mengembalikan barang pusaka tersebut. Apalagi, sebelum meninggal, leluhur mereka telah berpesan untuk mengembalikan barang pusaka tersebut kepada orang yang berhak. Tentang pengembalian barang pusaka itu sendiri, dmuka telah kita kemukakan ada 2 versi, versi van Dijk dan versi M. Salomo Pasaribu.
Penemuan kembali barang pusaka tersebut, menyebabkan seluruh turunan Tuan Sori Mangaraja sepakat untuk menjadikan Manghuntal Sinambela menjadi raja. Penabalan ini diakui juga oleh kelompok marga lain, yang turut hadir, sehingga tersirat pengakuan Manghuntal sebagai Raja Batak. Penobatan Manghuntal sebagai raja dilakukan di Onan Raja Balige dengan dihadiri hampir seluruh kelompok marga Batak. Kepadanya diberikan gelar Raja Si Singamangaraja. Sumpah anggi di partubu, haha di harajaon menyebabkan keturunan Manghuntal secara turun-temurun diakui sebagai penerus Raja Si Singamangaraja. Raja Si Singamangaraja yang terakhir bernama Patuan Bosar dengan gelar Ompu Pulo Batu, yang tewas dalam perang melawan penjajah Belanda.
Bahwa Raja Si Singamangaraja mempunyai banyak keistimewaan, diakui banyak orang. Alis matanya yang lebat menyebabkan sorot matanya seolah-olah dapat menembus uluhati orang yang menatapnya. Sorot mata ini menyebabkan siapa pun tidak berani beradu pandang dengannya. Apabila ada orang yang mencoba berkata bohong, mulutnya akan terkatup rapat dan kakinya akan gemetaran.
Satu hal yang tidak disukainya ialah melihat orang yang diperbudak. Banyak orang yang dipasung terpaksa dia tebus dengan uangnya sendiri. Karena begitu banyak orang yang harus ditebus, dia pernah jatuh miskin dan meminta pinjaman uang dari bibinya yang kawin dengan Ompu Palti Raja. Bosan karena sering dipinjami uang, bibinya marah dan mengeluarkan kata-kata yang tidak senonoh. Karena amarah yang berlebihan, tekanan darahnya pun naik sampai ke ubun-ubun dan akibatnya bibinya tiba-tiba lumpuh dan tidak dapat berbicara. Kejadian inilah yang sering dihubungkan dengan kesaktian Raja Sisingamangaraja. Takut kejadian seperti itu akan terulang, dia memerintahkan agar segala utang judi diselesaikan di tempat. Artinya, tidak seorang pun boleh dipasung hanya karena utang judi. Sejak itu, apabila Raja Sisingamangaraja lewat di suatu tempat, mereka akan buru-buru melepaskan orang yang terpasung.
Zeentgraaf, seorang jurnalis Belanda, memberikan kesaksian tentang peran Si Singamangaraja bagi rakyat pada masa kesulitan. Dalam Java Bode, Zeentgraaf pernah menulis, “Si Singamangaraja was voor de Bataks de grote weldooner, omdat hij veelerlei zegeningen kon brengen aan zijn volk, dat omhem riep in tijden van nood.” Artinya, “Si Singamangaraja adalah seorang yang besar jasanya bagi rakyatnya karena dia dapat memberikan kebahagiaan pada masa kesukaran.” Masa kesukaran adalah suatu masa ketika terjadi musim kemarau panjang. Pada saat seperti ini, rakyat meminta pertolongan kepada beliau. Beliau kemudian berdoa (martonggo) kepada Mulajadi Nabolon dan meminta agar hujan diturunkan. Beliau dipercayai sebagai orang na siat marpangidoan tu Mulajadi Nabolon. Artinya, doa beliau kepada Tuhannya selalu dikabulkan. Upacara meminta hujan iturun adalah salah satu ujian bagi pengganti pendahulunya, selain menarik piso gaja dompak dari sarungnya. Ini adalah salah satu kelebihan raja-raja penerus, dibandingkan dengan manusia biasa.
Si Singamangaraja adalah priester koning atau raja imam, yang dihormati karena kelebihannya. Seorang intelektual Batak, Dr. F.J. Nainggolan, memberikan analogi yang tepat dalam hal ini. Dalam majalah Parsaoran, beliau menulis, “Allen een figuur, de ene slechts, werd het wel algameen vereerd, en afgodisch vereerd, de figuur van Si Singamangaraja. Geen Batak van ouden stempel, die niet met heilig onzagt de naam Si Singamangaraja, die voor de Batak was gelijk de Pausen in de middle eewen voor de volkeren in Europa.” Artinya, “Si Singamangaraja adalah satu-satunya tokoh yang umumnya diabdi dan dipuja dengan segala kemuliaan. Tidak ada seorang pun suku Batak pada zaman itu yang tidak dengan khidmat menyebut namanya. Bagi orang Batak, kedudukannya adalah sama dengan paus pada abad pertengahan bagi penduduk Eropa.”
Mengumpamakan Raja Si Singamangaraja layaknya seorang paus adalah analogi yang tepat. Itu terjadi karena Raja Si Singamangaraja bukanlah seorang raja dalam pengertian yang sebenarnya. Beliau tidak mempunyai angkatan bersenjata, tidak mengenakan pajak atau upeti yang harus dibayarkan kepadanya, dan tidak mempunyai pembantu (kawula) seperti layaknya raja-raja di Jawa. Kebesaran Raja Si Singamangaraja tumbuh dengan sendirinya sehingga, ketika menyebut namanya, orang-orang selalu mendahuluinya dengan ucapan: Santabi saribu hali santabi di sangap ni Ompui, Raja Si Singa Mangaraja. Dalam adat masyarakat Batak, ompui adalah gelar tertinggi dan dahulu, inilah yang diberikan kepada Raja Si Singamangaraja.
Itulah pengakuan F.J. Nainggolan, salah seorang intelektual Batak, yang pada zaman itu yang jumlahnya masih dapat dihitung dengan jari. Beliau menikah dengan seorang wanita kulit putih dan salah seorang anaknya bernama W.F. Nainggolan atau lebih dikenal dengan nama Boyke. Boyke Nainggolan adalah perwira TT-I/Bukit Barisan, dengan pangkat terakhir mayor, dan pernah belajar di General Staff and Command College di Forth Leavenworth, Amerika Serikat.

Penghormatan Orang Batak Terhadap Sisingamangaraja


Sejak tewasnya R. Sori Mangaraja III dalam perang melawan Aceh, orang Batak hidup tanpa kehadiran seorang pemimpin. Tidak ada satu orangpun pemimpin yang dapat dijadikan panutan yang punya kewibawaan yang dapat memberikan satu putusan yang adil, bilamana terjadi satu silang sengketa. Tidak ada, yang oleh orang Batak dikatakan sebagai pamuro so mantat sior, parmahan so mantat batahi, si tiop dasing pamonoran, tu ginjang so ra mungkit-tu toru so ra monggal, gambaran dari satu pribadi pemimpin yang adil dan bijaksana.
Tidak adanya pemimpin ini menyebabkan masing-masing kelompok marga mengangkat rajanya sendiri yang dikenal dengan raja mar opat, yaitu 4 orang pemimpin yang diambil dari tetua marga masing-masing. Mereka inilah (yang di aku sebagai raja) bertindak menetapkan berbagai hal dalam kelompoknya, termasuk menyelesaikan silang sengketa. Akan tetapi otoritas mereka sangat terbatas, yaitu hanya dalam kelompok marga mereka sendiri. Hal inilah yang terjadi sampai di tabalkannya Manghuntal Sinambela sebagai raja orang Batak pertama dengan gelar Raja Sisingamangaraja.
Sejak ditabalkan sebagai raja, banyak cerita yang berkembang sekitar raja ini. Cerita-cerita yang menyelimuti dirinya, sejak masih dalam kandungan, masa remaja sampai pada masa kepemimpinannya yang mau tidak mau menyebabkan orang ber-decak kagum. Menurut cerita orang-orang tua, konon dia sering menyamar sebagai orangtua renta, meminta segelas air atau sesuap nasi kepada penduduk. Hal ini dilakukan karena sering terjadi, bila beliau melewati sebuah tempat, penduduk sudah lebih dahulu melepas orang-orang yang terpasung, bahkan melepas burung yang ada dalam sangkar, karena beliau sangat tidak senang melihat mahluk yang ter-aniaya. Kharismanya yang begitu besar, menyebabkan orang tidak berani bertatap pandang dengannya, bahkan untuk menyebut namanya, seseorang harus meminta ma’af lebih dahulu.
Cerita-cerita seperti inilah yang berkembang ditengah masyarakat, sehingga tidak heran, bila seorang C.B. Tampubolon yang lebih dikenal dengan Oppu Boksa II, ayahanda Ir. G.M. Tampubolon pendiri Institut Teknology Indonesia (ITI). Inilah pengakuannya “Pada waktu saya kecil”, demikian cerita Op.Boksa II yang kala itu telah berumur 82 tahun, “saya bermain-main di pasar Balige. Karena hari pekan, suasana pasar begitu ramai. Tiba-tiba suasana menjadi hening, ibarat jarum jatuh pun akan kedengaran. Saya heran lalu dengan susah payah saya menyelinap ingin tahu apa yang terjadi. Jalan di sekitar pasar kosong, sementara di kedua sisi jalan banyak orang berdiri, menatap ke kejauhan. Dari jauh saya melihat seorang penunggang kuda yang berjalan perlahan. Begitu dia lewat, pasar kembali ramai. Saya mencoba bertanya siapa orang tersebut. Tidak ada yang menjawab. Belakangan saya tahu bahwa yang lewat itu adalah Raja Sisingamangaraja”. Itulah cerita C.B. Tampubolon kepada saya pada tahun 1984.

0 komentar:

 
TOGA LAUT PARDEDE | © 2010 by DheTemplate.com | Supported by Promotions And Coupons Shopping & WordPress Theme 2 Blog