Pohon Filomemetika
Dari BudayaIndonesia
Pohon filomemetik adalah sebuah taksonomi hierarkis yang merepresentasikan hubungan kekerabatan antar artefak budaya. Konsep ini analog dengan konsep pohon filogenetik di biologi. Ia lahir dalam perspektif memetika.
Daftar isi[sembunyikan] |
Memetika
Memetika adalah sebuah pendekatan yang berkembang dalam tradisi neo-Darwinian untuk memodelkan evolusi budaya berdasarkan konsep meme. Ia diperkenalkan pertama kali oleh Richard Dawkins. Ahli biologi Inggris ini melihat bahwa budaya tersusun atas unit-unit yang dapat mereplikasi dirinya sendiri atau meme. Konsep meme di budaya tersebut analog dengan gen di biologi. Dawkins dalam bukunya The Selfish Gene (1976) menyebutkan bahwa meme merupakan suatu unit informasi yang tersimpan di otak dan menjadi unit replikator dalam evolusi kultur manusia. Ia dapat berupa ide, gaya berpakaian, tata cara ibadah, norma dan aspek kultur lainnya.
Lebih jauh, coba kita bayangkan misalnya ada dua orang anak kembar, kita sebut Ana dan Ane. Karena orang tuanya bercerai, keduanya berpisah sejak kecil. Ana mengikuti Ibunya di Surakarta, Jawa Tengah. Sementara itu, Ane tumbuh bersama keluarga ayahnya di dataran tinggi Gayo, Aceh. Setelah keduanya dewasa mereka memiliki kegemaran yang berbeda. Menurut Ana, tarian yang menarik adalah yang lembut dan lemah gemulai seperti umumnya tari-tari klasik dari keraton Surakarta. Sementara itu, Ana berpandangan bahwa tarian indah adalah yang bersifat rampak dan dinamis, seperti tari Saman dari Gayo. Keduanya kembar secara identik atau memiliki susunan gen yang sama, lalu bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi? Fenomena itu dapat dijelaskan dengan menggunakan pendekatan memetika. Ada unit-unit informasi yang tersimpan di kepala individu-individu di Surakarta atau Gayo tentang tarian yang indah. Ia kemudian bertransmisi dan tereplikasi dalam sistem sosial tersebut, termaksud oleh Ana dan Ane. Namun, perlu ditekankan di sini bahwa meme tidak berada di artefak budaya. Ia berada dalam kepala manusia. Pandangan akan tarian yang indah ada di kepala individu-individu di Gayo, bukan di tari Saman. Meme ini kemudian terefleksikan melalui tari Saman.
Pohon Filomemetik
Indonesia memiliki variasi bahasa, motif, lagu daerah, tarian, senjata, obat-obatan, desain rumah adat yang sangat banyak. Lalu, bagaimanakah caranya agar kita dapat melihat hubungan yang ada di antar artefak-artefak budaya tersebut? Seberapa dekat tari Saman dengan tari Merak? Apakah tari Tortor lebih dekat ke tari Saman atau tari Merak?
Dalam biologi, telah dikenal konsep pohon filogenetik, yang merupakan konstruksi hubungan antar spesies. Taksonomi hierarkis ini dikonstruksi dengan melihat konfigurasi gen spesies yang ada di dunia ini. Dari pohon tersebut, kita akan dapat mengetahui jarak antara ayam dan angsa atau jarak antara ayam dan ikan mas. Lebih jauh bahkan kita akan dapat mengetahui pola evolusi mahluk hidup. Jika di biologi di kenal konsep gen dan pohon filogenetik maka di budaya dikenal konsep meme dan pohon filomemetik. Pohon filomemetik adalah sebuah taksonomi hierarkis yang merepresentasikan hubungan kekerabatan antar artefak budaya. Taksonomi hierarkis ini dikonstruksi dengan melihat konfigurasi meme dalam artefak budaya.
Pohon filomemetika disusun dari tabel memepleks (kumpulan meme-meme), yang merefleksikan fitur-fitur artefak-artefak yang diobservasi, di mana di dalamnya terdapat informasi tentang matriks jarak antar artefak. Jarak ini yang kemudian diterjemahkan lebih lanjut ke dalam visualisasi pengklusteran artefak.
Pohon Filomemetik Arsitektur
Jika kita jalan-jalan ke Taman Mini Indonesia Indah (TMNII), kita akan dikejutkan oleh kekayaan variasi anjungan daerah (desain arsitektural bangunan yang terinspirasi tradisi lokal) yang luar biasa. Setiap anjungan daerah berbeda satu sama lain. Namun, dibalik perbedaan di anjungan tersebut, kita dapat melihat adanya sejumlah kesamaan. Anjungan Jawa Tengah cenderung mirip dengan anjungan Jawa Timur. Lalu, bagaimanakah caranya kita dapat melihat representasi hubungan kesamaan/perbedaan tersebut? Di sini, kita dapat menggunakan konsep pohon filomemetik.
Tahap metodologis penyusunan pohon filomemetika dilakukan dengan menyusun memepleks dari artefak budaya desain arsitektural bangunan yang terinspirasi tradisi lokal, kemudian mengubah matriks homologi tersebut ke dalam bentuk matriks jarak, lalu memvisualisasikannya menjadi pohon filomemetika disain arsitektural.Memepleks desain arsitektur ini kita peroleh dengan mejawab pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah ia dapat dikategorikan sebagai rumah panggung, bahan bangunannya, bentuk bangunan tersebut, dekorasi bangunan tersebut dan bagaimana bangunan tersebut diwarnai, eksploitasi spasial di sekitar bangunan tersebut, termasuk sejauh mana pengaruh luar memberikan dampak bagi desainnya secara umum.
Dari sini, kita akan memperoleh data struktur memepleks anjungan-anjungan daerah di TMII. Proses selanjutnya adalah membangun matriks jarak artefak. Proses ini diperlukan untuk membangun argumentasi tentang kedekatan antara satu artefak dengan yang lain berdasarkan informasi memepleks yang diperoleh pada proses sebelumnya. Untuk kasus artefak arsitektural, pembandingan memepleks antar artefak mengacu pada Jarak Hamming, dan Jarak Korelasi antar artefak. Selanjutnya, data jarak artefak diteruskan ke proses pengklusteran yang dalam kasus ini menggunakan algoritma yang dikenal dengan UPGMA (Unweighted Pair Group Method with Arithmatic Mean). Pada tahap ini, kita telah memperoleh grup-grup artefak, untuk kemudian dikembangkan pengkladistikan meme-nya atau yang kita sebut di atas sebagai pohon filomemetika.
Pohon Filomemetik Motif
Kepulauan Indonesia dianugerahi kekayaan motif yang luar biasa, seperti Ulos dari Sumatera Utara, Songket dari Palembang, Jawa dengan Batiknya dan lain sebagainya. Di sini, kita dapat menggunakan konsep pohon filomemetik untuk dapat melihat taksonomi hierarkis motif-motif yang ada di nusantara. Ada dua parameter yang kita gunakan untuk menyusun memepleks motif. Yang pertama, adalah besaran yang mengukur sensitifitas bentuk geometri motif. Di sini, kita menggunakan dimensi fraktal. Parameter yang kedua berkaita dengan warna motif tersebut. Konfigurasi warna yang ada dapat kita susun dalam kombinasi histogram tiga buah warna dasar, yaitu merah, hijau dan biru. Dari sini kemudian kita akan mendapatkan matriks jarak, yang kemudian tervisualisasikan menjadi pohon filomemetik motif.
Pohon Filomemetik Lagu Daerah
Selain variasi desain arsitektur dan motif, tanah Indonesia juga dikaruniai variasi musik daerah yang luar biasa. Musik merupakan ekspresi jiwa dalam urutan, kombinasi, dan hubungan temporal nada yang mempunyai kesatuan dan kesinambungan. Alunan nada seperti apakah yang disukai oleh orang Toraja? Apakah lagu yang menurut orang-orang di Jawa Barat indah dekat dengan lagu-lagu dari Jawa Tengah? Seberapa berbeda lagu Apuse dengan Ati Raja? Sepertihalnya desain arsitektur dan motif, hubungan ini juga dapat dikaji dengan menggunakan konsep pohon filomemetik.
Untuk dapat mengkonstruksi pohon filomemetik lagu daerah, terlebih dahulu kita harus mengetahui struktur memepleks yang ada. Memepleks lagu daerah dapat kita peroleh dengan mengetahui besaran konstanta Zipf-Mandelbrot (merepresentasikan penggunaan not dalam urutan durasi), Koefesien girasi (menunjukkan kerapatan lagu), efek spiral (dinamika lagu), entropi (kekayaan not atau duras) dan negentropi (kompleksitas lagu). Dari sini, kita akan dapat jarak antar lagu. Dari matriks ini kemudian kita dapat memvisualisasikannya menjadi pohon filomemetik lagu daerah di Indonesia.
Pohon Filomemetik dan Wawasan Nusantara Baru
Budaya sangat penting penting dalam membentuk peradapan/kemajuan sebuah bangsa. Karena hanya dengan mengenal diri sendiri atau wawasan nusantara ("darimana kita berasal", "latar belakang apa yang membuat kita seperti ini", "apa karakter yang melekat secara kolektif pada diri kita", dan lain-lain) maka dengan bijaksana kita akan mengetahui respon apa yang perlu kita berikan ke depan. Kesadaran ini harus dimiliki sejak dini. Selama ini, budaya seringkali hanya dilihat dari 2 dimensi saja. Pertama, dimensi pelestarian/tradisi. Kita mengenakan batik setiap hari kartini, karena itu sudah tradisi. Seringkali budaya menjadi sebatas tradisi semata. Ia menjadi barang antik. Akibatnya, budaya kita menjadi tidak adaptif menghadapi tantangan masyarakat. Kedua, dimensi komersialisasi. Pariwisata memang mendatangkan devisa. Namun, jika kita terjebak di sini, ia justru berkembang menjadi objek komersial semata.
Manusia Indonesia modern tumbuh di tengah tantangan era globalisasi, teknologi dan informasi. Fenomena anak-anak perkotaan Indonesia, yang menunjukkan jarak antara budaya Indonesia dengan anak, adalah ekses globalisasi, teknologi dan informasi. Akibatnya, ia mengikis identitas Indonesia dari anak-anak. Namun, ini tidak murni akibat faktor globalisasi dan informasi. Paradigma kita yang melihat budaya sebatas dari dimensi pelestarian dan dimensi komersialisasi semata juga ikut berperan.
Untuk itu, kita harus menjawab tantang itu semua dengan sebuah wawasan nusantara baru yang bersifat rasional (bukan doktrinasi) dan konkret (kesatuan Indonesia bukanlah sebuah hal yang abstrak). Di sini, pohon filomemetik menjanjikan sebuah jawaban. Dari visualisasi yang ada di pohon tersebut, kita dapat menunjukkan bahwa keragaman yang ada hanyalah sebuah cabang dari sebuah pohon besar, yaitu pohon budaya Indonesia. Pohon ini secara nyata menunjukkan sebuah kalimat sakti yang dibawah oleh sebuah burung perkasa: Bhineka Tunggal Ika