F.2 Jalan Berkat dan Kehidupan
F.2.a Jalan Agama leluhur
Masyarakat Batak yang religius juga menyadari bahwa keberhasilan untuk
mencapai semua itu hanya dimungkinkan jika mereka mendapatkan pasu-pasu
(berkat) dari kekuatan rohani yang ada di dunia tidak kasat mata, yaitu dari banua
ginjang (dunia atas). Karena itu mereka berupaya untuk memperoleh segala berkat
dari segala roh-roh yang ada di alam gaib, dengan cara menyembahnya dan
melakukan segala persyaratan dari roh sembahan itu untuk mendapatkan berkat.
Cara itu yang kita kenal kemudian dengan istilah upacara adat. Karena itu upacara
adat merupakan suatu pusat kehidupan masyarakat batak yang menandai
aktivitasnya setiap hari.
Jalan berkat yang ditetapkan oleh roh sembahan leluhur Batak dapat dilihat dalam
aktifitas upacara adat. Seluruh berkat berasal dari debata Mulajadi Nabolon sebagai
roh sembahan yang tertinggi. Berkat Mulajadi Nabolon disalurkan melalui ketiga
putranya, yaitu: Batara Guru, Mangala Sori dan Mangala Bulan. Di luar itu,
beberapa roh lainnya yang menjadi sumber berkat penting dalam kehidupan
masyarakat Batak adalah: Boraspati ni tano (dewa kesuburan tanah), Boru Saniang
Naga (dewi penguasa air dan danau), Sombaon, roh orang tua atau leluhur yang
sudah mati, dan berbagai jenis roh (begu) lainnya.
Ketiga dewa Batak menyalurkan berkat dari Mulajadi Nabolon melalui sarana
upacara adat (agama) Batak. Sementara kepada beberapa roh sembahan lainnya,
berkat disalurkan setelah kepadanya diberikan makanan sesajian tertentu sesuai
dengan keinginan roh itu sendiri. Kita akan melihat beberapa prinsip penting jalan
berkat dalam upacara adat Batak.
Mulajadi Nabolon memberikan kepada ketiga putranya berkat khusus yang dapat
disalurkan kepada manusia. Batara Guru sebagai penguasa dunia atas, menerima
kuasa yang dapat menjadikan segala tanaman dan binatang yang ada di bumi.
Mangala Sori sebagai penguasa dunia tengah, dijadikan sebagai sumber Hamalimon
(imamat) dalam agama Batak dan Sisimangaraja adalah salah satu malim yang
terbesar. Mangala Bulan sebagai sumber Hadatuon (ilmu perdukunan), dan raja
Silahi Sabungan adalah salah satu Datu Bolon (dukun besar) yang pernah muncul
di tanah Batak.
Dari ketiga dewa tadi, Batara Guru menduduki posisi sangat penting sebagai
sumber berka dalam kehidupan masyarakat Batak. Batara Guru sangat diharapkan
berkatnya karena dari dialah berasal segala tanaman dan binatang yang ada di
bumi. Berkat mengalir dari dunia atas turuh ke dunia bawah. Inilah prinsip penting
dalam agama Batak. Dalam rumah Batak, dunia atas dilambangkan oleh atap
rumah, dunia tengah dilambangkan bagian tengah rumah, dan dunia bawah
dilambangkan oleh kolong rumah. Berkat tidak pernah berasal dari bawah menuju
ke atas.
Sebagai masyarakat agraris, maka orang Batak sangat mendambakan agar seluruh
tanaman yang dikerjakannya memberikan hasil yang melimpah, dan seluruh ternak
peliharaannya berkembang biak dengan pesat. Dalam bahasa Batak dikenal dengan
ungkapan “gabe na niula, sinur angka pinahan”. Semuanya ini hanya akan
menjamin berkat dari Batara Guru.
Dengan demikian, maka hulahula sebagai personifikasi dari Batara Guru juga
menempati posisis yang sangat penting dalam kehidupan orang Batak. Dalam alam
fisik, maka hulahula merupakan sumber berkat dan keberhasilan dalam segala
pekerjaan boru-nya. Seperti atap rumah Batak, maka hulahula memiliki kekuatan
untuk melindungi, mengayomi, dan memberkati boru. Kalau hulahula tidak
memberkati (mamasu-masu), maka seluruh kehidupan boru akan penuh kesialan,
kemiskinan, penyakit dan bencana. Karena itu, orang Batak sangat takut jikalau
mereka tidak memiliki hulahula atau memiliki hubungan yang rusak dengan
hulahulanya.
Pemberkatan oleh hulahula kepada boru-nya diberikan dalam suatu upacara adat.
Berkat yang diberikan oleh debata dinyatakan oleh hulahula dalam bentuk
pemberian ikan mas (dengke mas arsik), atau ihan (ikan Batak: jurung),pemberikan ulos (tenunan Batak ataupun berupa tanah: ulos na sora buruk) dan Hata pasu-pasu (pidato dan doa pemberkatan) yang banyak berisikan umpasaumpasa Batak.
Pasu-pasu yang diberikan oleh hulahula merupakan pengalihan sebagian tondi dari
daya tondi-nya (sahala) kepada boru. Sahala adalah unsur roh (tondi) yang dimiliki
seseorang yang akan memberikan kelebihan khusus kepadanya. Sahala hamoraon
akan membuat seseorang menjadi penguasa. Sahala harajaon akan membuat
seseorang menjadi penguasa. Sahala hadatuon akan membuat seseorang menjadi
datu. Pemberian berkat-berka merupakan “transfer roh” (sahala) dari hulahula
kepada boru. Kekuatan sahala inilah yang akan me wujudkan segala keinginan yang
dimintakan oleh boru kepada hulahula. Kekuatan sahala yang dimiliki oleh manusia
berasal dari roh sembahan leluhur.
Berkat yang diterima oleh boru tidak cukup hanya dari hulahula-nya saja. Berkat
itu akan semakin lengkap dan melimpah bila mengalir dari struktur kekerabatan
yang lebih tinggi dan luas: dari hulahula orang tuanya, yakni saudara lelaki ibu,
yang dipanggil dengan “tulang”; lebih tinggi lagi, berkat dimintakan dari “tulang
bona”, tulang rorobot (tulang dari tulang) dan tulang bonaniari. Permintaan berkat
kepada semua unsur hulahula di atas diberikan dalam upacara adat yang penuh
(adat na gok).
Sebelum debata memberkati melalui hulahula, pihak boru terlebih dahulu harus
memberikan persembahan kepada debata, melalui pemberian tudu-tudu
sipanganon kepada sang hulahula. Tudu-tudu sipanganon itu berupa seekor babi
atau kerbau yang dipotong dan setelah dimasak disusun sedemikan rupa secara
utuh dari kepada sampai ekor (na margoar), dan kemudian diserahkan kepada
hulahula. Pemberian ini menyimbolkan penyerahan, penaklukan dan penyembahan
dari orang Batak terhadap debata Batara Guru, roh sembahannya, dengan harapan
agar kepada mereka diberikan berkatnya. Falsafah “somba marhulahula”
diwujudkan dengan memberikan persembahan makanan itu.
Jadi pemberian makanan itu merupakan bentuk penyembahan dalam agama Batak
kepada roh sembahan leluhur, bukan hanya sekedar pemberian kepada hulahula
saja. Sadar atau tidak, percaya atau tidak, maka kalau seorang Kristen
memberikan makanan tudu-tudu sipanganon kepada hulahulanya, dia telah
memberikan persembahan kepada Mulajadi Nabolon. Penyembahan kepada dirinya
inilah yang menjadi tujuan inti dari iblis dalam memberikan ilham pelaksanaan
upacara adat kepada luluhur kita. Iblis memang sangat berambisi untuk disembah
oleh manusia.
Pada penyerahan tudu-tudu sipanganon inilah pihak boru menyampaikan kepada
hulahulanya alasan kedatangannnya, dan mengajukan segala permohonan yang
hendak dimintakannya kepada debata melalui hulahula. Pemberian lain yang juga
sering diberikan adalah piso-piso, yaitu berupa sejumlah uang, yang
melambangkan kehormatan yang diberikan kepada hulahula. Pada masa dahulu
bersamaan dengan pemberian di atas sering juga diikutsertakan dengan
memberikan minuman “tuak”.
Dengke yang diberikan oleh hulahula biasa disebut dengan “dengke sitio -tio” dan
“dengke siudur-siudur”, yang berarti sahala hulahula akan menolong boru itu agar
kehidupannya menjadi baik, rezeki menjadi lancar, dan mereka tetap bersatu
dalam mengarungi tantangan kehidupan ini. Pemberian ulos dilakukan dengan cara
membentangkan di pundak sedemikian rupa sehingga membungkus tubuh boru.
Pemberian ulos merupakan berkat dan perlindungan yang diberikan sahala hulahula
kepada roh (tondi) sang boru, agar tondi itu tetap berada dalam keadaan nyaman
dan hangat. Karena kondisi tondi yang hangat dan nyaman dalam tubuh
seseoranglah yang akan menjadikannya sehat dan terlindung dari segala bentuk
gangguan roh-roh jahat. Wajar saja, jikalau orang Batak sangat ketakutan jikalau
tidak mendapatkan ulos dari hulahulanya.
Semakin mahal nilai ulos yang diberikan, semakin besar kegembiraan yang
dinikmati boru, karena berarti lebih besar daya atau berkat hidup yang dipancarkan
oleh hulahula kepada dirinya. Pada sisi lain, nilai ulos yang tinggi juga akan
menaikkan gengsi sosial (social prestige) pihak boru di tengah-tengah masyarakat
adat yang hadir pada upacara itu. Mereka menjadi terhormat (sangap) di tengahtengah
masyarakat. Karena itu orang Batak sangat mendambakan hulahula yang
kaya, karena diharapkan akan dapat memberikan berkat dan kemuliaan yang besar
kepada boru. Ketidakhadiran hulahula yang relatif miskin masih mudah dimaafkan,
apabila dibandingkan dengan ketidakhadiran hulahula (na mora) yang dianggap
memiliki kekayaan yang lebih d i antara mereka.
Pemberian ulos dan dengke arsik diikuti dengan penyampaian berkat dan pidato
dari hulahula, serta umpasa-umpasa yang berisi doa dan permohonan supaya
debata Mulajadi Nabolon memberkati pihak boru, membuat berhasil segala yang
dikerjakannya dan menjauhkan penyakit dan marabahaya dari kehidupannya
(bandingkan dengan pendeta yang mengucapkan doa berkat di gereja).
Pengucapan berkat dan pidato ini merupakan bagian yang penting dari upacara
adat, karena berkat mengalir melalui kata yang diucapkan ketika menyerahkan
pemberian hulahula.
Makanan adat (na margoar) yang telah dipersembahkan kepada debata via hulahula kemudian dibagikan (mambagi jambar) kepada seluruh pihak yang hadir
berdasarkan tutur dengan empunya pesta (suhut). Pada tataran sosia l, pembagian
jambar ini merupakan suatu pengakuan dan penghormatan sosial kepada seluruh
tutur si empunya pesta. Seseorang akan sangat terhina jikalau dia tidak mendapatkan jambar bagiannya. Artinya, keberadaan dia tidak diakui dan dihormati oleh si empunya pesta. Akibatnya bisa terjadi pertengkaran. Pada zaman dulu, masalah ini sering menimbulkan perang antar kampung atau perang marga.Kehidupan masyarakat Batak dulu ditandai dengan adanya tingkat konflik yangtinggi.
Pada tataran rohani, pembagian jambar merupakan pengalihan daya berkat hidup
(pasu-pasu) dari debata kepada seluruh pihak sesuai dengan hak adat masingmasing.
Porsi jambar ditentukan berdasarkan status seseorang di dalam upacara
itu. Seseorang hanya diperkenankan untuk mengambil jambar sesuai dengan
bagian yang telah ditetapkan baginya dalam aturan adat. Jambar yang tidak
diberikan kepada seseorang yang berhak berarti merampas berkat hidup yang
seharusnya menjadi milik orang itu. Perampasan itu sangat membahayakan bagi
kehidupan orang itu, maka dia berusaha mempertahankannya dengan berdebat,
dan kalau perlu dengan berperang.
Pada sisi lain, pembagian jambar merupakan suatu pengakuan rohani akan
keikutsertaan seseorang dalam persekutuan religius denga roh-roh sesembahan
leluhur. Persekutuan religius itu merupakan jalan untuk mendapatkan berkat hidup
dari roh-roh itu. “Manjalo jambar” berarti keberadaan seseorang diakui dalam
persekutuan religius itu, karena itu debata memberikan berkatnya melalui “jambar”
yang diterima. Dengan demikian terbukalah kesempatan untuk mencapai tujuan
hidupnya, “asa gabe jolma ”. Seseorang yang dikucilkan dari persekututan adat
merupakan orang yang tidak berhak mendapatkan jambar pasu-pasu dari roh
sembahan leluhur. Bagi mereka kehinaan, kemiskinan dan kehancuran hidup telah
menantinya di depan (Salah satu bentuk kebohongan iblis !).
Dalam konteks inilah nasehat diberikan seperti yang tercermin dalam ungkapan ini,
“pantun do hangoluan, tois hamagoan”. Kehidupan yang baik ditentukan oleh
ketaatan kepada adat, ketidakta atan akan membawa kehancuran. Kehancuran ini
terjadi karena pelanggaran itu telah merusak tatanan keseimbangan antara alam
makrokosmos (banua ginjang) dengan alam mikrokosmos (manusia di bumi).
Berkat hidup dalam agama Batak mengalir dari Debata di dunia atas turun ke dunia
bawah, apabila tatanan rohani yang telah ditetapkan oleh Mulajadi Nabolon
dipelihara dengan melakukan seluruh ketentuan adat Batak. Merusak tatanan adat
berarti menutup pintu berkat dari Mulajadi Nabolon bagi dirinya sendiri.
Ketakutan inilah yang mencengkeram hati para leluhur dulu dan juga masih
mencengkeram hati banyak orang Batak Kristen. Sehingga ada orang yang
menganggap lebih baik dikatakan “ndang martuhan” daripada dikatakan “ndang
maradat”. Masih banyak orang Batak Kristen yang menilai dan mengukur nilai
seseorang dengan nilai dan cara -cara Hasipelebeguon dulu. Banyak orangtua yang
tidak mau menikahkan anaknya seturut Firman Tuhan di gereja, jikalau mereka
tidak mau memakai upacara adat. Biarlah pernikahan di hadapan TUHAN itu tidak
dihadirinya. Biarlah anaknya pergi menikah jauh, tanpa dilihatnya.
Bagi mereka lebih berharga upacara adat daripada upacara pernikahan gerejawi.
Mereka telah melanggar janji (padan) di hadapan Tuhan, ketika membaptiskan
anak itu di gereja, yaitu mendidik anak itu di dalam Firman dan takut akan Tuhan.
Mereka menunjukkan sikap lebih takut kepada Mulajadi Nabolon (malaikat iblis)
daripada kepada Tuhan Yesus.
Kalau upacara adat telah dilaksanakan dengan baik mereka sangat puas, bangga
dan menjadi tenang hidupnya. Ketenangan itu terjadi karena di hatinya masih
tertanam keyakinan agama sipelebegu tentang jalan berkat, bukan hanya sekedar
takut dikucilkan saja. Mereka meyakini kalau upacara itu dilaksanakan dengan baik,
pernikahan itu pun akan mendatangkan berkat melimpah bagi pengantin. Mereka
lebih takut tidak mendapat jambar dari persekutuan adat dibandingkan
mendapatkan jambar dari Kerajaan Sorga, dimana Yesus Kristus bertahta sebagai
Raja yang Mahamulia.
Gambar berikut ini menjelaskan jalannya berkat dalam agama Batak. Sebagai orang Kristen kita tidak memerlukan berkat-berkat dari roh sembahan
leluhur. Kita tidak memerlukan berkat dari hulahula. Berkat dari Tuhan Yesus sudah
cukup dan melimpah bagi kita. Kita tidak memerlukan ulos dari hulahula, karena
yang membungkus dan melindungi roh kita adalah darah dan kuasa Tuhan Yesus
sendiri. Ulos baru yang diberikan kepada roh kita adalah keselamatan dalam darah
Kristus (Yesaya 61:10). Kita sangat bersukacita karena memiliki perlindungan yang
terbaik dari segala bentuk serangan atau gangguan roh-roh jahat.
Roh Kudus yang mendiami hati kita memiliki kekuatan yang jauh lebih besar dari
segala roh apapun yang ada di dunia (I Yohanes 4:4). Dia jauh lebih besar dari
Mulajadi Nabolon, Batara Guru, Mangala Sori, Mangala Bulan, Boraspati ni Tano
maupun berbagai roh-roh yang dikenal dalam agama Batak. Tertulis dalam Bibel
bahasa Batak:
“Ai Kristus i do diparulushon hamu, sude hamu, naung tardidi tu bagasan
Kristus.” (Galatia 3:27)
“Marlas ni roha situtu do ahu dibagasan Jahowa, marolop-olop do tondingku
dibagasan Debatangku; ai nunga disolukhon tu ahu angka ulos hatuaon
(pakaian keselamatan), baju hatigoran diholoshon tu ahu, songon pangoli,
na marbulang-bulang mangaradoti hamalimon jala songon oroan naung
hinohosan.”(Yesaya 61:10)
Penulis tidak akan memaparkan betapa besarnya berkat dan perlindungan yang
kita terima dari Tuhan Yesus, yang menyebabkan kita tidak memerlukan ulos,
dengke ataupun berkat dari hulahula. Anda bisa mencari buku-buku rohani lain
yang membahasnya. Penulis akan memberikan dua ayat Alkitab yang menegaskan
melimpahnya berkat dan perlindungan ya ng kita terima dari Tuhan Yesus:
“Kamu berasal dari Tuhan anak-anakku, dan kamu telah mengalahkan nabinabi
palsu itu; sebab Roh yang ada di dalam kamu, lebih besar dari pada
roh yang ada di dalam dunia.” (I Yoh 4:4)
“Setiap pemberian yang baik dan setiap anugerah yang sempurna,
datangnya dari atas, diturunkan dari Bapa segala terang (bukan dari
Mulajadi Nabolon via hulahula via ulos dan dengke); padanya tidak ada
perubahan atau bayangan karena pertukaran.” (Yakobus 1:17)
Ada beberapa kebenaran menakjubkan yang tercatat dalam surat Yakobus di atas.
Kata Yunani yang diterjemahkan dengan “pemberian” dan “anugerah” adalah
“dosis” dan “dorema”. Dosis berarti perbuatan memberikan dan mencakup baik
sikap maupun motif dibaliknya. Dorema menunjuk kepada “hal yang diberikan”,
pemberian itu sendiri. Maknanya ialah bahwa alasan-alasan Tuhan bersama-sama
pemberian-pemberian Tuhan, kedua-duanya adalah baik dan sempurna, dalam arti
bahwa tidak ada lagi sesuatu yang perlu ditambah atau diubah untuk
memperbaiknya. Berkat Kristus sudah sempurna bagi seluruh kebutuhan kita, jadi
tidak perlu ditambah lagi dengan berkat dari hulahula.
Istilah “datang dari atas” berarti berasal dari TUHAN, bukan juga berarti sebagai
suatu peristiwa yang dulu pernah terjadi (past tenses) namun menunjukkan bahwa
Tuhan tidak pernah berhenti, sesaatpun tidak (present) pernah berhenti untuk
menuangkan berkat-berkatNya ke atas kita manusia. Inilah yang disebut dalam
istilah teologia dengan “karunia am”, yaitu kebaikan Tuhan yang bertubi-tubi
kepada seluruh umat manusia.
F.2.b Jalan Kristus
Salah satu pernyataan besar dan agung yang pernah keluar dari mulut Yesus
adalah: “Akulah Jalan dan Kebenaran dan Hidup. Tidak ada seorangpun
yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” (Yohanes 14:6). Ayat ini
secara umum sudah diketahui oleh orang Batak yang beragama Kristen. Dalam
ayat ini Yesus berbicara tentang tiga hal yang sangat penting dan saling mengikat,
yaitu adanya “jalan”, “kebenaran” dan “kehidupan”. Jalan yang benar akan
membawa kepada kepastian kehidupan kekal. Jalan yang tidak benar (sepertinya
benar tetapi palsu) akan membawa ke pada kebinasaan.
Kalau ada jalan, berarti ada tujuan yang hendak dicapai. Jalan tanpa tujuan
namanya luntang-lantung, dan jalan yang salah menghasilkan kebinasaan. Dosa
telah membuat manusia kehilangan tujuan hidup yang sebenarnya. Manusia tidak
lagi mengetahui tujuan hidup, yang benar-benar dapat memberikan hidup yang
kekal. Manusia masih menyadari tentang adanya tujuan sejati yang harus mereka
capai dalam hidupnya, namun manusia tidak pernah mengetahuinya dengan benar.
Pencaharian tujuan dan jalan yang benar dalam hidup manusia setelah jatuh ke
dalam dosa telah melahirkan dua perkara besar. Di belahan dunia Timur,
masyarakatnya relatif intuitif, telah menyumbangkan berbagai bentuk ajaran
agama, baik dari agama yang besar sampai kepada bentuk agam (religi) yang
kecil, yang tidak berkembang luas. Salah satu diantaranya adalah agama Batak. Di
belahan Barat, masyarakatnya relatif rasionalis, pencahariannya telah
menghasilkan berbagai macam bentuk ajaran filsafat dan pemikiran manusia yang
besar.
Di tengah-tengah pertemuan kedua arus hidup manusia itulah Yesus menyerukan
“Akulah Jalan dan Kebenaran dan Hidup. Tidak ada seorangpun yang datang
kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” Kepada dunia Timur yang mencari tuhan
yang benar, Yesus mengatakan “Akulah Jalan”, dan kepada dunia Barat yang
mencari kebenaran melalui berbagai macam filsafat, Yesus mengatakan “Akulah
Kebenaran”. Yesus-lah Jalan dan Kebenaran dan Hidup yang kekal. Sungguh besar
makna perkataan itu.
Penciptaan telah menetapkan bahwa hidup dalam TUHAN merupakan tujuan sejati
bagi manusia. Peta TUHAN merupakan standar hidup bagi kebahagiaan manusia,
dan TUHAN menjadi satu-satunya sumber tak terbatas bagi pemenuhan segala
kebutuhan hidup manusia. Tetapi dosa telah membawa kerusakan total dan
kemerosotan yang dalam dari potensi manusia yang sangat mulia itu. Manusia
telah kehilangan tujuan dan jalan hidup yang benar. Tujuan hidup orang Batak
untuk mencapai kekayaan, kehormatan dan keberhasilan, juga mewarnai tujuan
hidup suku -suku bangsa lain. Yesus mengatakan:
“Sebab itu, janganlah kamu kuatir dan berkata; Apakah yang akan kami
makan? Apakah yang akan kami minum? Apakah yang akan kami pakai?
Semua itu dicari bangsa-bangsa yang tidak mengenal Tuhan. Akan
tetapi Bapamu yang di sorga tahu, bahwa kamu memerlukan semuanya itu.
Tetapi carilah dahulu kerajaan Tuhan dan kebenarannya, maka semuanya
akan ditambahkan kepadamu .” (Matius 6:31-33)
Yesus menyatakan bahwa bukti bangsa-bangsa tidak mengenal TUHAN adalah
mereka mengutamakan pencarian makanan, pakaian, rumah dan berbagai
kebutuhan duniawi lainnya, dan tidak mencari kerajaan TUHAN dan kebenaran-
Nya. Kebenaran ini berlaku juga bagi kita bangsa Batak yang hidup sehari-hari
tidak mengutamakan mencari Dia.
Jadi berbagai roh sembahan leluhur Batak yang bernama Mulajadi Nabolon dan
ketiga debata putranya bukanlah TUHAN semesta alam yang sesungguhnya.
Karena itu dia tidak pernah mengajak orang Batak untuk mengenal siapakah
TUHAN itu sebenarnya. Wajar saja, dia takut kebongkaran kedoknya. Dalam kondisi
suku-suku bangsa yang sudah jauh dari tujuan hidup yang benar inilah Injil
diberitakan. Melalui karya Yesus Kristus, manusia diberikan jalan pemulihan akan
segala dampak dosa itu. Melalui karya Yesus, manusia diberikan tujuan dan jalan
hidup yang benar selama di dunia ini.
Alkitab menegaskan bahwa Yesus-lah satu-satunya jalan yang disediakan oleh
TUHAN bagi manusia. Setiap orang yang menemukan “Jalan” yang sesungguhnya,
dia telah menemukan kebenaran, yang membawanya pada hidup yang kekal. Dia
pasti mengenal Yesus. Setiap orang yang menemukan “kebenaran” yang
sesungguhnya, dia pasti telah memiliki jalan beroleh hidup yang kekal. Dia pasti
bertemu dengan Yesus. Setiap orang yang telah menemukan hidup yang kekal, dia
telah menemukan jalan yang membawa kepada kebenaran, yaitu Yesus. Paulus
menegaskan: “Kristus telah mati untuk semua orang, supaya mereka yang hidup,
tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri, tetapi untuk Dia, yang telah mati dan telah
dibangkitkan untuk mereka.” (II Kor 5:15).
Tanpa Yesus tiada seorangpun yang dapat hidup dalam TUHAN dan menerima
segala sesuatu dari-Nya. Pernyataan Yesus di atas merupakan kebenaran mutlak
yang tidak dapat diubah sedikitpun oleh siapapun juga, tidak dapat ditambah atau
dikurangi oleh manusia. Hidup yang baru dalam Yesus, adalah suatu hidup yang
diabdikan sepenuhnya bagi Kristus dan bukan lagi diabdikan kepada Mulajadi
Nabolon, roh sembahan leluhur, dan bukan juga kepada perintah dan ajaran agama
leluhur.
Doa manusia hanya akan sampai kepada TUHAN, Bapa di dalam Yesus, hanya
melalui Yesus Kristus, bukan melalui tudu-tudu sipanganon, bukan melalui
hulahula, dan juga bukan melalui tudu-tudu sipanganon plus doa dalam nama
Yesus. Penambahan doa dalam nama Yesus dengan tudu-tudu sipanganon dan
hulahula tidak akan pernah dapat membawa permohonan manusia kepada TUHAN.
Cara seperti itu hanya akan membawa permohonan kita kepada malaikat iblis yang
bernama Mulajadi Nabolon. Permohonan manusia hanya akan didengarkan-Nya bila
dipanjatkan di dalam nama Yesus Kristus, titik.
Berkat Tuhan diterima oleh manusia hanya melalui Yesus, bukan melalui ulos atau
dengke yang diserahkan oleh hulahula atau tulang. Perantara (parhitean) doa dan
berkat bagi manusia hanyalah Yesus, bukan apapun juga yang ada dalam upacara
adat. Kristus-lah satu-satunya Tuhan yang pernah berinkarnasi menjadi manusia.
Ndang na hulahula, manang dengke arsik, manang ulos, umbahen
parhitean pasu-pasu di jolma, alai holan Kristus do parhitean na sintong.
Inilah kemutlakan Injil Kristus.
Karena itu, pelaksanaan upacara adat dalam kehidupan kekristenan merupakan
tindakan penyangkalan akan Firman Tuhan Yesus:”Akulah Jalan, dan Kebenaran
dan Hidup”. Penyangkalan itu tidak dilakukan melalui mulut, tetapi dilakukan
melalui tindakan pragmatis. Melalui mulut kita mengakui Yesus satu-satunya jalan,
dan melalui tindakan kita menyangkalinya. Inilah yang disebut dalam surat Paulus
kepada Titus dengan: “Mereka mengaku mengenal Tuhan, tetapi dengan perbuatan
mereka, mereka menyangkal Dia”. (Titus 1:16)
F.2.c Jalan Holong dan Jalan Kasih
Kita sudah membahas upacara adat Batak itu sebagai suatu aktifitas yang dipenuhi
dengan simbol dan makna religius agama Batak. Kita akan meninjau lagi upacara
adat sebagai aktifitas yang berisikan motif-motif sosial tertentu. Rangkaian upacara
adat merupakan jalan dimana seluruh kerabat keluarga menyatakan (holong)
solidaritas di antara sesama mereka. Tanda holong dari boru, dia akan memberikan
tudutudu sipanganon kepada sang hulahula, sebagai wujud somba marhulahula.
Tanda “holong” bagi hulahula, dia akan memberikan ulos, dengke dan hata pasupasu
kepada pihak boru. Inilah argumen sebagian orang untuk tetap mempertahan
tradisi itu. Dalam upacara yang lebih lengkap seperti pernikahan, rasa holong itu
dinyatakan dengan pertukaran pemberian di antara kelompok Dalihan Na Tolu.
Bentuk “holong” di dalam adat Batak, adalah suatu hubungan yang bersifat “take
and give”, dalam ungkapan Batak dikatakan “lean di ahu, asa hulehon di ho”.
Pemberian dilakukan dengan motif untuk mendapatkan sesuatu dari orang yang
memberikan. Tidak ada pemberian yang gratis. Nilai sesuatu yang diterima
seseorang harus disesuaikan dengan nilai yang telah diberikannya. Nilai yang
diberikan kepada seseorang juga harus disesuaikan dengan pendidikan dan
jabatannya dalam masyarakat. Kalau tidak, perselisihan, pertengkaran dan
permusuhanpun akan terjadi. Kalau ulos yang diberikan oleh hulahula nilainya di
bawah nilai pemberian sang boru, maka sang boru akan bersungut-sungut
menerimanya. Demikian pula sebaliknya, bila hulahula menerima pemberian sang
boru tidak seimbang dengan pemberiannya. Apalagi kalau hulahula atau boru itu
adalah seorang yang kaya dan terhormat dalam masyarakat.
Karena itu orang Batak sangat mendambakan diri untuk menjadi orang kaya.
Keinginan inilah yang menggelorakan semangat hamajuon, yang ditandai dengan
tekad besar dari orang tua untuk memberikan pendidikan yang tinggi kepada anakanaknya.
Dengan memiliki pendidikan yang tinggi, maka mereka akan lebih mudah
mendapatkan kekayaan. Dengan kekayaan dan status pendidikan itu maka mereka
dapat menyerahkan pemberian yang lebih besar lagi nilainya dan mendapatkan
sesuatu yang lebih bernilai tinggi di hadapan masyarakat. Jadi pemberian dan
penerimaan sesuatu dalam upacara adat merupakan sarana menunjukkan gengsi
sosial di tengah-tengah masyarakat (social prestige).
Pada sisi lain, dengan kehormatan dan kekayaan yang dimilikinya, maka seseorang
akan sering mendapatkan undangan (gokkon dohot jou-jou) dari keluarga ataupun
anggota masyarakat lainnya. Si pengundang akan sangat bangga jikalau orang itu
hadir di pestanya. Sebaliknya, kalau seseorang itu miskin, penghargaan yang
diterimanya jauh berbeda dari orang kaya itu. Karena itu ada orang yang
mengatakan bahwa istilah adat merupakan akronim dari “Adong di hita, Adong
Tondong” (Kekerabatan yang banyak ditentukan oleh kekayaan yang dimiliki oleh
seseorang).
Kehadiran dan pemberian seseorang dalam suatu upacara adat lebih banyak
ditujukan untuk kepentingan dirinya sendiri. Kehadiran seseorang bertujuan supaya
si pengundang juga akan hadir pada wakt u dia melakukan upacara adat. Pemberian
yang diberikannya dalam suatu upacara adat bertujuan agar si penerima juga akan
memberikan sesuatu sebagai imbalan. Kalau upacara adat yang dilaksanakan
seseorang dihadiri oleh banyak orang, dan pemberian-pemberian mereka nilainya
tinggi, maka akan sangat terhormatlah si empunya pesta di hadapan masyarakat.
Holong dalam adat Batak hanya merupakan suatu pemberian yang menuntut balas
semuanya demi kepentingan si pemberi itu sendiri. Kalau dia tidak menghadiri
upacara adat yang diselenggarakan orang lain, maka dikuatirkan orang lain tidak
akan datang pada waktu dia melakukan upacara adat. Ini merupakan kehinaan
(haleaon) bagi orang Batak. Rasa solidaritas seperti ini disebut dengan “holong na
marparbuat”.
Holong yang seperti ini juga tercermin dalam relasi antara orang Batak dengan
sembahannya. Jikalau mereka menginginkan sesuatu dari sembahannya, maka
terlebih dahulu mereka mempersembahkan sesuatu sebagai dasar untuk
pengabulan keinginannya. Roh sembahan bukanlah sesuatu pribadi yang harus
dipatuhi dan ditakuti karena dia mengaku sebagai debata. Mereka diperlakukan
baik karena sangat diperlukan dalam mencapai keinginan manusia itu sendiri.
Hubungan dengan sembahan tidak merupakan hubungan antara “Tuan dan Hamba”
(patron an client).
Masyarakat Batak adalah masyarakat yang sejajar dimana orang lain dinilai sama
derajatnya dengan diri mereka sendiri. Semua orang Batak adalah “anak raja”,
kecuali karena faktor tertentu mereka terpaksa menjadi budak (hatoban). Orang
Batak tidak mengenal loyalitas hirarkis seperti pada budaya orang Jawa. Mereka
adalah orang yang bebas dan mandiri. Kesejajaran inilah yang juga menjadi dasar
perilaku mereka terhadap sembahannya. Mereka menyembah kepada Roh
sembahannya, karena membutuhkan berkat dan perlindungan darinya. Roh
sembahan memberikan sesuatu kepada manusia, karena mereka membutuhkan
pemualiaan dari manusia. Hubungan antara “sembahan” dengan manusia dijalin
dalam suatu relasi yang saling menguntungkan (simbiosa mutualisma). Hubungan
seperti ini tercermin dalam cerita di bawah:
Pada masa dulu hiduplah seorang “raja” Batak yang cukup kaya. Namun
hatinya tetap merasa sedih karena tidak memiliki anak. Sebagai orang
Batak kondisi seperti itu sangat menyengsarakan hidupnya. Suatu hari
naiklah dia ke gunung Pusuk Buhit dan membawakan persembahan kepada
Mulajadi Nabolon. Setelah memberikan persembahan itu berdoalah dia:
“Ale ompung Mulajadi Nabolon, diboto ho do aha na mambahen ahu ro tu
son, ima sude arsak na adong di bagasan rohangki, disiala so adong dope
tubu di ahu anak dohot boru. Alani, ale Ompung Mulajadi Nabolon, Raja ho
di banua ginjang, Raja ahu di son, marsipasangapan ma hita, unang hita
masipailaan.”
(Wahai, ompung Mulajadi Nabolon, engkau mengetahui alasan kedatanganku ke tempat ini, yaitu semua kesusahan yang ada dalam hatiku, karena belum mempunyai putra dan putri. Karena itu, wahai ompung Mulajadi Nabolon, Engkau raja di dunia atas, Aku raja di sini,baiklah kita saling memuliakan, dan tidak saling mempermalukan).
Kalau Mulajadi Nabolon tidak memberikan anak, maka raja tadi akan sangat terhina
selama di dunia dan setelah meninggalkan dunia ini. Kalau itu terjadi maka raja
tersebut tidak akan mau melakukan upacara adat yang mempermuliakan Mulajadi
Nabolon, dan tidak akan ada juga keturunannya yang akan mempermuliakannya.
Baik raja itu sendiri maupun Mulajadi Nabolon sama-sama tidak akan menerima
kemuliaan.
Holong yang diajarkan dalam agama Batak adalah kasih yang menuntut balas dari
orang yang telah menerima pemberian. Holong seperti itulah yang ada di dalam diri
manusia. Sembahan leluhur tidak memiliki kasih seperti Tuhan Yesus, yang rela
mengorbankan segala sesuatu kepada manusia yang dikasihinya. Bahkan
nyawaNya telah dikorbankan demi keselamatan setiap orang yang mau percaya
kepadaNya. Karena kasih TUHAN, Pencipta Semesta Alam. Karena TUHAN itu
adalah Kasih (Agape). Tuhan atau ilah lain yang palsu tidak memiliki dan tidak akan
mengajarkan Kasih TUHAN yang tiada menuntut balas.
Sebagai pengikut Yesus kita diajarkan melakukan ajaran kasih agape yang tiada
menuntut balas. Pemberian kita harus benar-benar ditujukan hanya demi kebaikan
dari orang yang menerima, dan tiada motif apapun yang bersifat egoistis. Inilah
kasih sorgawi yang jauh lebih tinggi dari jenis kasih apapun yang ada di dalam
dunia. Yesus mengatakan:
Jikalau kamu menuruti perintahKu (bukan perintah sembahan leluhur),
kamu akan tinggal di dalam kasihKu, seperti Aku menuruti perintah BapaKu
dan tinggal di dalam kasihNYA...
Inilah perintahKu, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah
mengasihi (agape) kamu.” (berarti tidak mengasihi dengan “holong na
marparbuat”).
Tiada apapun yang telah dikorbankan oleh sembahan leluhur kita. Setiap
pemberian yang diberikannya harus dibayar dengan pemberian dari kita. Yang lebih
berat lagi, pemberian itu harus dibayar dengan nyawa kita sendiri. Pemberian iblis
akan membawa kita ke dalam neraka bersama-sama dengan dia. Apakah Anda
mau di sana ?-James silalahi