Batu Cawan, demikian
pemandian itu disebut. Batu Cawan termasuk satu dari sekian banyak situs
di Gunung Pusuk Buhit yang sangat dikeramatkan oleh orang Batak (Toba).
Disebut Batu Cawan, karena memang bentuknya mirip cawan (mangkuk).
Letaknya persis di salah satu lereng gunung api sisa letusan Gunung Toba
ini. Jaraknya 3 km dari pintu masuk dari Desa Limbong. Untuk sampai
kesana, sedikitnya dibutuhkan waktu sekitar dua jam berjalan kaki. Rute
yang dilewati pun cukup terjal karena jalanan yang berbatu dan menanjak.
Barulah, kira-kira setengah perjalanan, akan dijumpai tangga-tangga
pendakian hingga sampai ke Batu Cawan.
Konon Batu Cawan dulunya
merupakan tempat mandi Si Raja Batak, yang menurut keyakinan lokal
masyarakat Batak (Toba), berdiam di Pusuk Buhit. Kebetulan
di sekitar Batu Cawan, banyak dijumpai sisa-sisa sesajen bekas orang
yang menjalani ritual sebelum-sebelumnya. Hal itu menandakan bahwa
tempat ini, termasuk rutin dikunjungi penziarah. Apalagi tempat ini
dijaga oleh salah seorang penduduk lokal bermarga Limbong yang dengan
setia memandu penziarah.
Memang di sekitar Batu Cawan didirikan
semacam altar dari keramik, tempat meletakkan kurban. Di situlah
biasanya penziarah meletakkan kurban yang dibawanya. Umumnya berupa
sirih, jeruk purut, telur ayam kampung, rokok, buah-buahan dan ada juga
yang membawa ayam bahkan kambing untuk kemudian dilepaskan di sana.
Akibatnya tempat ini terasa begitu mistis.
Sedangkan di Batu
Cawan sendiri, yakni kolam pemandian Sang Raja tampak jernih. Dasar
kolam sendiri kelihatan sangat jelas, berupa batu-batu. Penulis menaksir
cerukan terdalam dasar kolam, kira-kira 1,5 meter dengan diameter
sekitar 3 meter. Ada tradisi yang unik ketika hendak meminum airnya.
Seseorang harus langsung meminum tanpa menggunakan media bantu seperti
cangkir maupun tangan. Caranya langsung menundukkan kepala sampai mulut
menyentuh permukaan air. Setelah meminum airnya, barulah orang tersebut
boleh mencuci muka, membasahi rambut atau membawa air itu untuk dibawa
pulang. Posisi minum yang demikian tentu sangat berisiko. Karena posisi
bibir kolam, tempat pengunjung harus berjongkok untuk minum, langsung
berbatasan dengan jurang di bawahnya yang sedalam puluhan meter. Begitu
mahalkah harga sebuah keyakinan? Jawabannya tentu tergantung pribadi
masing-masing orang.
Air di Batu Cawan ini memang unik.
Permukaannya berwarna hijau kekuningan serta tampak berminyak. Tetapi
ketika diambil, sama sekali tidak ada minyak di atas air itu. Rasanya
pun masam persis air perasan jeruk purut. Padahal tidak ada sebiji pun
juruk purut di kolam itu. Airnya bersumber dari air terjun kecil yang
berasal dari himpitan tebing batu setinggi kira-kira 6 meter. Di atas
tebing itu tampak tumbuh-tumbuhan perdu dan beberapa pohon besar.
Jadilah pemandian ini seperti telaga, layaknya tempat dewa-dewi mandi,
seperti yang sering kita baca dalam dongeng-dongeng.
Meski
berupa cerukan, air ini selalu berganti, karena ia mengalir ke jurang di
bawahnya. Nah, air yang mengalir ke jurang itulah yang boleh dimandikan
pengunjung. Apalagi di tempat itu sudah dibangun pula bak-bak pemandian
lengkap dengan ruang ganti dan toilet. Di sekitar itulah pula, penulis
menemukan banyak sekali jeruk purut yang memenuhi sepanjang aliran air.